Wahyu Eka Setiawan
15 Oktober 2018
suarapena.com
Penolakan FPI Banyuwangi terkait sedekah laut dan acara
seni Gandrung Sewu benar-benar di luar nalar. Pernyataan mereka membuat saya
pribadi cukup terpelatuk untuk berkomentar: apa relasinya bencana dengan
sedekah bumi serta acara seni. Ini sungguh relevan, bahkan terlalu mengada-ada.
Entah cari sensasi atau ingin eksis dengan memanfaatkan
momentum terkait maraknya bencana alam, khususnya yang sedang menimpa Indonesia
di periode akhir tahun ini.
Pernyataan mereka hanya berdasarkan common sense,
tidak berlandaskan argumentasi faktual atau realitas yang terjadi. Ketakutan
mereka terkait dengan sedekah laut dan acara seni tari Gandrung Sewu, yang
dinilai akan menyebabkan bencana, merupakan argumentasi yang dhaif (lemah)
karena tidak pernah dibuktikan secar empirik.
Logical fallacy semacam ini jamak kita jumpai,
mengaitkan bencana dengan warisan budaya lokal yang dianggap musyrik, syirik,
dan maksiat atas syariah agama. Sehingga Allah mengirimkan azab pada mereka
yang dituduh melenceng. Padahal ungkapan tersebut sangat tidak signifikan,
terlalu menyudutkan suatu entitas tanpa melihat realitas yang ada.
Kebebalan ini berlanjut, terus direproduksi dengan
kepentingan tertentu. Seperti mengenai eksistensi kelompok, atau mencoba
memanfaatkan momen untuk kepentingan politisnya.
Penolakan FPI Banyuwangi terhadap sedekah bumi dan
kesenian tari gandrung, lalu dikaitkan dengan ketakutan bencana alam, merupakan
sebuah ungkapan yang menunjukan mereka tidak mafhum, terutama ihwal
bencana itu sendiri.
Mereka menggeneralisasi dengan cocokologi tanpa melihat
realitas yang nyata dari ncaman seperti apa yang sebenarnya menyasar di
Banyuwangi dalam konteks bencana.
Memahami dan Mengerti Perihal Bencana
Bencana ada dua bentuk, pertama bencana alam dan yang
kedua merupakan bencana ekologis. Perlu kita ketahui bahwa bencana alam ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jikalau menyasar pada gempa bumi, maka ada
siklus gerak lempengan bumi yang membuat tanah bergerak dan bergeser. Seperti
juga erupsi gunung berapi, dipengaruhi oleh siklus magmatik perut bumi.
Sementara untuk bencana ekologis, menurut Jared Diamonds
(2005), adalah malapetaka yang bertalian dengan aktivitas manusia. Artinya, ada
pengaruh aktivitas manusia yang turut menyebabkan bencana. Misal, deforestisasi
dan ekspansi industri.
Pada dasarnya bencana alam sangat berbeda dengan bencana
ekologis. Beda dari kedua bencana ialah faktor penyebabnya. Bencana ekologis
juga berbeda dengan tragedi kehancuran suatu wilayah, seperti Hiroshima dan
Nagasaki yang hancur karena bom nuklir.
Pada konteks bencana ekologis, merupakan dampak perubahan
ekosistem oleh manusia, yang telah menyebabkan konsekuensi luas dan bertahan
lama. Hal ini bisa termasuk kematian hewan hingga manusia dan tumbuhan, atau
gangguan berat pada kehidupan manusia yang mungkin membutuhkan migrasi.
Bencana alam pun tidak tiba-tiba datang layaknya cerita
kolosal, atau azab di sinetron yang umum dilihat masyarakat. Bencana alam
memiliki fase dan siklus, yang mana pada titik tertentu akan terjadi.
Sebenarnya sudah bisa diprediksi, walaupun tidak akurat.
Ini perihal kepekaan serta seberapa jauh budaya mitigasi
di masyarakat kita. Ketidakstabilan dalam prediksi atas bencana alam, semisal
gempa atau erupsi, merupakan salah satu keterbatasan manusia dalam mencoba
mengendalikan alam. Ternyata alam memiliki daya yang melebihi manusia, sehingga
tidak bisa diprediksi dengan mudah.
Berbeda dengan bencana ekologis yang erat kaitannya
dengan keserakahan manusia, terutama mereka yang rakus tanpa melihat daya
dukung alam. Secara besar-besaran mengeksploitasi sumber daya alam demi
keuntungan mereka sendiri. Namun, dalam praktiknya benar-benar merugikan banyak
masyarakat.
Mencerabut, merampas, dan mengalienasi masyarakat dari ruang
hidupnya.
Padahal dalam surat Ar-Rum ayat 41 dan 42 sudah
diperingatkan mengenai suatu bencana yang akan dihadapi manusia. Baik alam
maupun ekologis, ini juga merupakan peringatan untuk mereka yang zalim dan
rakus terhadap alam ciptaanNya.
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang diridhoi Allah).
Katakanlah (Wahai Nabi Muhammad), “Bepergianlah di
bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (Ar-Rum 41-42)
Allah dalam firmanNya telah mengingatkan manusia agar
lebih mengerti dan peka terhadap alam, baik menjaga alam ataupun bersiap dalam
menghadapi bencana. Namun, hal ini tak dipahami secara utuh, bahkan terkesan
sepotong-sepotong. Sehingga dengan mudah dapat menganggap sesuatu hal sebagai
penyebab bencana, padahal tidak ada relevansi antara sebuah kearifan lokal
dengan bencana.
Banyuwangi Terancam Bencana Ekologis
Daripada mempersoalkan bencana karena sedekah dan seni
tari Gandrung Sewu, FPI seharusnya juga garang dengan pertambangan yang
mengancam wilayah Banyuwangi, tepatnya di wilayah selatan. Di wilayah itu,
jikalau ditambang, akan membuat ekosistem terganggu, otomatis memunculkan
bencana secara langsung. Di tahun 2016 saja, di salah satu area wisata yang
dekat dengan wilayah pertambangan, dihajar oleh banjir bandang, sehingga
merusak ekosistem laut dan perekonomian warga.
Mempersoalkan sedekah laut yang secara tidak langsung
adalah bentuk kearifan lokal yang memiliki nilai historis dan filosofi yang
dalam. Terkait relasi budaya dengan alam, ini sebagai wujud syukur serta doa
kepada Allah melalui medium ciptaanNya. Merupakan bagian dari suatu nilai-nilai
baik, dalam upaya melestarikan lingkungannya. Walaupun hanya secara simbolis,
namun itu relevan dalam konteks relasi manusia dengan alam.
Selebihnya, jika FPI Banyuwangi memang peduli dengan
bencana, maka sudah seharusnya mereka sadar diri, bagaimana lingkungan hidup
kini mulai terancam keberadaannya. Justru, pertambangan dan deforestisasi
adalah musuh yang harus benar-benar dilawan. Bukan kebudayaan yang belum ada relasi
nyata dengan bencana, baik alam maupun ekologis.
Bahkan dalam surat Al-A'raf ayat 56, Allah
berfirman: "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah
(diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh
harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat
kebaikan."
Jangan berbuat kerusakan, apalagi ini kaitannya dengan
kehidupan banyak manusia. Menghujat kebudayaan itu tidak kontekstual dan
relevan, melihat maraknya kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia.
NU secara organisasi pun pernah menularkan resolusi jihad
lingkungan, dalam muktamar 29 di Cipasung Tasikmalaya. Meskipun hingga kini
belum terimplementasikan, seharusnya FPI ini memiliki sikap serupa. Bahkan,
harusnya mengingatkan NU juga agar berpedoman pada resolusi perlindungan
lingkungan hidup.
Alangkah indahnya jika Islam yang rahmatan lil
alamin benar-benar dilakukan secara linier. Tidak hanya syahwat politis
semata, terutama demi eksistensi semu. Menolak dan memboikot kebudayaan, karena
takut bencana, merupakan tindakan yang gegabah dan bias kepentingan.
Padahal di Banyuwangi sedang terancam bencana ekologis
yang nyata. Seharusnya mereka benar-benar menghayati ayat suci secara
kontekstual, bukan asal komentar namun penuh kesesatan (dholalah).
Referensi
Departemen Agama. (1985). Muqaddimah al-Quran dan
Tafsirnya. Departemen Agama, Republik Indonesia.
Diamond, J. (2005). Collapse: How societies choose
to fail or succeed. Penguin.
Sumber: Qureta.Com
0 komentar:
Posting Komentar