Ariefiani Harahap
- 22 Oktober 2019 12.57 WIB
Salah satu Penghayat Kepercayaan, Pahoman Urip Sejati asal Magelang
yang sedang melakukan peribadatannya | foto: riauberita.com
Adanya berbagai kepercayaan merupakan salah satu
keragaman yang menjadi ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut bisa
ditemukan juga pada penghayat kepercayaan sebagai salah satu kelompok yang
sering terlupakan bahkan asing bagi sebagian masyarakat.
Penghayat kepercayaan sendiri adalah mereka yang menganut
aliran kepercayaan diluar enam agama dominan yang dikenal masyarakat umum di
Indonesia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Adanya
aliran kepercayaan tersebut merupakan warisan yang diturunkan oleh leluhur
berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Keberadaan
penghayat kepercayaan di Indonesia
Sebelum masuknya agama mayoritas di Indonesia, Arkeolog
Agus Widiatmoko menjelaskan pada historia.id bahwa agama atau kepercayaan
terdahulu yang dipegang oleh para penghayat memiliki tiga prinsip yaitu
hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia dan dengan
tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Beberapa contoh aliran yang cukup besar diantaranya
seperti; Sunda Wiwitan dan Buhun yang dianut orang-orang Sunda, Kejawen yang
dianut masyarakat Jawa, Marapu yang merupakan agama asli dari Pulau Sumba,
Kaharingan dan Tolotang yang berasal dari Kalimantan, Ugamo Malim atau Parmalim
dari suku Batak dan Madrais yang merupakan agama Jawa-Sunda.
Selain aliran-aliran tersebut masih banyak lagi aliran
kecil di Indonesia yang juga merupakan bagian dari penghayat kepercayaan.
Walaupun belum ada jumlah pasti terkait jumlah penghayat
kepercayaan, dilansir dari tirto.id beberapa data menunjukkan keberadaan mereka
ditengah masyarakat Indonesia. Sensus penduduk 2010 misalnya, mencatat ada
299.617 penghayat kepercayaan atau sekitar 0,13% yang terhitung dari jumlah
total penduduk Indonesia.
Selain itu ada juga perkiraan jumlah berkisar sepuluh
hingga dua belas juta orang di seluruh Indonesia yang dikeluarkan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Berada.
Melihat kembali
kondisi penghayat kepercayaan di Indonesia
Dalam perjalanannya aliran kepercayaan sempat mengalami
kondisi yang naik turun. Pada historia.id Sudarto peneliti dari Setara
Institute menjelaskan bahwa jumlah penghayat kepercayaan pernah mengalami
peningkatan setelah pemilu pertama yang dilakukan pada 1955 .
Saat itu ada sekitar 350 kelompok yang dikonsolidasi oleh
mantan wakil perdana menteri KRT Wongsonegoro. Hal tersebut juga terakomodir
lewat pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan
“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk utuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaan itu”
Namun Pada 1965 juga sempat keluar UU PNPS No. 1 yang
berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah,
dari aliran-aliran lain. Hal tersebut pun berimbas pada para penghayat
kepercayaan.
Berbagai kendala seringkali muncul, mulai dari sulitnya
mendapatkan hak-hak seperti pendidikan atau pekerjaan hingga penerimaan di
masyarakat. Hal tersebut kerap membuat beberapa dari mereka berpindah pada
agama mayoritas.
Kartu Tanda Penduduk salah seorang penghayat kepercayaan | foto:
tirto.id
Setelah berbagai hal yang dilalui oleh masyarakat
penghayat kepercayaan, dukungan terhadap mereka akhirnya mulai terlihat.
Realisasinya dibuktikan dengan dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di
dalam E-ktp oleh Ditjen Dukcapil pada 2019.
Masyarakat penghayat kepercayaan yang gugatannya dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) | foto: detik.com
Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang mengabulkan gugatan masyarakat
penghayat kepercayaan terkait kewajiban negara untuk mengakui dan menulis
(tidak lagi mengosongkan) kolom agama pada KTP yang dimiliki penghayat kepercayaan.
Walaupun secara identitas keberadaannya telah diakui,
dibutuhkan edukasi lebih lanjut pada masyarakat luas terkait keberadaan para
penghayat kepercayaan. Hal tersebut harus dilakukan untuk mendorong sikap
terbuka masyarakat terhadap mereka sehingga tak ada lagi diskriminasi yang
diterima oleh para penghayat.
0 komentar:
Posting Komentar