This is default featured slide 1 title
BEBAL:"FPI"
Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnyaThis is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Rabu, 30 Oktober 2019
Sekolah Rakyat bagi Mereka yang Termarginalkan
Akmal Uro - 30/10/2019
Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam
kehidupan seseorang. Pendidikanlah yang menentukan, menuntun masa depan dan
arah hidup seseorang. Dengan pendidikan, dapat menciptakan manusia-manusia yang
berkualitas, berintelektual, dan jauh dari kebodohan.
Meskipun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun
pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan nomor wahid. Bagi Tan Malaka sendiri,
pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan
kebodohan.
Karena kemajuan suatu bangsa tak lepas dari pendidikan,
maka dari itu dituangkanlah beberapa kebijakan yang memberikan peluang bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pada Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan
Pendidikan”.
Selain itu, juga dituangkan dalam cita-cita bangsa ini
yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”.
Namun, hingga saat ini, cita-cita ‘Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa” masih ‘terasa’ jauh dari kata terwujud. Pasalnya, masih banyaknya
anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan formal menjadi salah satu
alasan. Berdasarkan Data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 Juta anak Indonesia
tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 Ribu anak usia
Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memang, ada beberapa faktor yang membuat anak-anak
Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan, seperti karena faktor ekonomi yang
berdampak pada tidak teraksesnya pendidikan bagi rakyat kecil, paradigma
masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting, sarana dan prasarana,
kurikulum yang diterapkan, dan beberapa faktor yang lain.
Faktor ekonomi menjadi penghambat utama untuk melanjutkan
pendidikan.
Padahal, dalam
komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) 2030 di Bidang Pendidikan, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada
seorang pun yang tertinggal dalam hal pendidikan.
Dari hasil survei Badan Pusat Statistik, ada sekitar 73
Persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. Hal ini sangat
disayangkan, padahal pemerintah Indonesia sangat serius melaksanaan kebijakan
pembangunan di sektor pendidikan yang bertujuan untuk Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa, terutama pada pengalokasian anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari
total anggaran pembangunan.
Program yang diprioritaskan antara lain, untuk
pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, perpustakaan, pengadaan buku-buku,
biaya operasional, beasiswa, pendidikan gratis bagi masyarakat miskin. Tapi toh
nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan.
Pendidikan yang tidak bisa terjangkau karena biayanya
yang mahal masih sangat dirasakan bagi rakyat kecil, seperti anak-anak jalanan
yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan.
Sangat sulit bagi mereka untuk menghapus dampak
pendidikan bagi mereka yang tidak didapatkannya. Karena mereka harus memikirkan
bagaimana caranya untuk membayar uang iuran sekolah, untuk membeli perlengkapan-perlengkapan
sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sangat susah.
Apakah dengan nilai-nilai yang bagus semasa duduk di
bangku sekolah ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Ataukah lulus
dengan IPK yang tinggi ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Tentu itu
bukanlah sebuah tolok ukur.
Bagi Sultan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka sendiri
berpendapat bahwa Pendidikan bukanlah semata-mata alat untuk kecerdasaan
pribadi saja, tetapi juga sebagai alat kecerdasan sosial agar mengetahui bentuk
ketertindasaan di dalam masyarakat. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa
pendidikan harus bersifat transformatif sebagai alat untuk keluar dari segala
jeratan praktik diskriminasi dan penindasan
Lantas, di mana nilai-nilai demokrasi yang menjamin
seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan bangku sekolah sebagaimana yang
tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1? Apakah itu hanya sebuah
‘pajangan’ dalam konstitusi negara?
Tentu, pendidikan yang merata dan bisa diakses oleh semua
kalangan rakyat Indonesia adalah bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam
ranah Pendidikan.
Oleh karena itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi alternatif
pendidikan bagi ‘mereka’ yang termarginalkan. Sekolah yang bisa menjadi
‘lumbung’ ilmu bagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan
layaknya anak sebayanya. Gudang ilmu dan tempat berkreasi bagi pemuda yang
‘terpaksa’ meninggalkan bangku sekolah karena himpitan ekonomi.
Dengan menyusun kurikulum sesuai dengan budaya,
kebutuhan, dan kondisi masyarakat, Sekolah Rakyat tersebut diharapkan bisa
membangkitkan kesadaran rakyat untuk peduli dan kritis terhadap segala
persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka.
Sebut saja seperti persoalan kemiskinan maupun penindasan
yang dilakukan penguasa terhadap mereka. Caranya adalah melalui sebuah
pembangunan berpikir yang mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam
dirinya, yang selanjutnya dibenturkan dengan realitas pahit yang mereka alami.
Salah satu contoh dari Sekolah alternatif yang ada di
Indonesia adalah Cahaya Anak Negeri, sebuah wadah kegiatan dan pendidikan untuk
membantu anak jalanan meraih cta-cita. Adalah Andi Suhandi dan Nadiah Abidin,
aktor di balik lahirnya sekolah jalanan tersebut. Mereka mendirikan sekolah
tersebut bermula dari keprihatinan terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak
jalanan di Kota Bekasi.
Sekolah seperti Cahaya Anak Negeri ini perlu dan
semestinya untuk didukung keberadaannya. Agar ke depannya, pemandangan
anak-anak jalanan yang berlarian jika dikejar Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) atau anak yang mengulurkan tangan untuk mengisi isi perutnya tak
terlihat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah alternatif untuk mereka.
Jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari banyaknya
sarjana, maka rakyat yang memilih Sekolah Rakyat tidak akan mampu untuk
mewujudkannya. Akan tetapi, jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari
kemajuan pola berpikir rakyat Indonesia, maka Sekolah Rakyat bisa dan mampu
untuk mewujudkan itu.
Permasalahan pendidikan bukanlah tugas pokok pemerintah
semata, akan tetapi juga pada rakyat yang sadar untuk mewujudkan nilai-nilai
demokrasi dalam ranah pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang bisa diakses oleh
seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi, pendidikan yang tak kenal
golongan adalah wujud nyata realisasi konsitusi negara di bidang pendidikan
seperti yang diamanatkan pada Pasal 31 Ayat 1.
Senin, 28 Oktober 2019
SRMB dan Literasi Daerah
Penerbitan dan apresiasi karya sastra, khususnya puisi,
direncanakan bakal menjadi tradisi tahunan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB). Sinyalemen
ini mengemuka dalam banyak diskusi internal yang disebut para pamongnya sebagai
tradisi dopokan kelompok.
Sebagai sebuah komunitas pembelajar yang telah berusia 16
tahun sejak pendiriannya pada Januari 2003, meski jatuh bangun, pengalaman
empiris memberi cukup kekuatan untuk tetap survive
dalam berbagai situasi. Kata
kuncinya, berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, menjadi perekat komunal yang
secara etika dan metodologis jadi sesuatu yang bersifat saling mengikat.
Jargon “Sekolah mBayar Karep” teruji di atas landasan
kolektif melalui proses-proses bersamanya, mulai dari dopokan hingga melakukan semua secara bersama. Tetapi kebersamaan
yang meskipun tak linier namun pada gilirannya bermanifes melalui “kerja kolektif”
siapa melakukan apa.
Penerbitan karya
Penerbitan buku berisi karya puisi para pegiatnya tengah
menjadi tren dalam tiga tahun
belakangan, terutama sejak komunitas ini menginisiasi pendirian “divisi publishing”
dengan marking Senthong Omah Sinau dalam
menangkap tema besar literasi pada konteks daerah.
Itu sebabnya pada Senin (28/10) SRMB menemui pengelola
Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen. Selain untuk menyerahkan dua serial
buku antologi puisi bertajuk “Kuputarung” sebagai satu momentum, juga untuk
suatu rintisan komunikasi yang diharapkan bakal berkelanjutan.
KUPUTARUNG: Penyerahan 2 buku antologi puisi “Kuputarung” terbitan SRMB ke pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen pada Senin (28/10). Kadin Kearsipan dan Perpustakaan Anna Ratnawati, didampingi Bambang Asrori tengah menerima dua buku terbitan SRMB di kantornya [Foto: Arp]
Bagi SRMB sendiri yang barangkali baru memaknai literasi
sebagai sebuah tradisi yang mengaktualisasi ke dalam trend penerbitan buku, namun juga berproyeksi mengembangkan produksi
pengetahuan lainnya diluar bidang sastra. Jika pun selama ini komunitas
berfokus pada sastra itu semata karena mayoritas pegiatnya aktif pada penulisan
puisi.
Opsi selain penulisan dan penerbitan adalah apresiasi
karya para pegiatnya melalui musikalisasi puisi. Secara spesifik, komunitas ini
tengah menyiapkan lomba baca puisi, tingkat pelajar dan umum; yang bakal digelar bulan November.
Rabu, 23 Oktober 2019
Anak-Anak Memerlukan Cerita, Puisi, Musik, dan Kesenian
23 October 2019 - A.S.
Laksana
ANAK-ANAK membutuhkan kesenian dan cerita dan puisi dan
musik sebagaimana mereka memerlukan cinta dan makanan dan udara segar dan
bermain-main. Jika kita tidak memberi mereka makanan, kerusakannya akan cepat
terlihat. Jika kita melarang anak menikmati udara segar dan bermain-main,
kerusakannya juga akan terlihat, tetapi tidak seketika. Jika kita tidak memberi
mereka cinta, kerusakannya mungkin tidak akan terlihat sampai bertahun-tahun
nanti, tetapi kerusakannya permanen.
Tetapi jika Anda tidak memberi mereka kesenian dan cerita dan puisi dan musik, kerusakannya tidak begitu mudah dilihat. Tubuh mereka cukup sehat; mereka dapat berlari dan melompat dan berenang dan makan dengan lahap dan bersuara berisik, seperti lazimnya anak-anak, tetapi ada sesuatu yang hilang.
Memang benar bahwa sejumlah orang tumbuh tanpa mengenal kesenian dalam bentuk apa pun, dan mereka terlihat bahagia. Mereka menjalani kehidupan yang baik dan berharga, dan tak ada buku di rumah mereka, dan mereka tidak begitu peduli pada lukisan, dan mereka tidak tahu pentingnya musik. Tidak ada masalah. Saya tahu orang-orang yang seperti itu. Mereka tetangga-tetangga yang baik dan warga negara yang bermanfaat.
Tetapi beberapa orang lainnya, pada tahap tertentu di masa kecil atau di masa muda mereka, atau bahkan mungkin di usia tua mereka, mengalami sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bagi mereka, pengalaman itu sama asingnya dengan sisi gelap bulan. Suatu hari mereka mendengar pembacaan puisi di radio, atau melewati sebuah rumah dengan jendela terbuka dan melihat seseorang bermain piano, atau melihat poster sebuah lukisan di dinding rumah seseorang, dan pengalaman itu memberi pukulan yang mengejutkan namun lembut sehingga mereka merasa pening. Mereka tidak pernah dipersiapkan untuk mengalami hal ini.
Tiba-tiba mereka menyadari ada rasa lapar, meskipun mereka tak memikirkan hal itu semenit sebelumnya; rasa lapar akan sesuatu yang manis dan lezat sehingga hampir menghancurkan hati mereka. Mereka hampir menangis, mereka merasa sedih dan gembira dan sunyi, disambut oleh pengalaman yang benar-benar baru dan aneh ini.
Mereka ingin mendengarkan radio, mereka tercenung lama di luar jendela, dan mata mereka tidak bisa beralih dari poster lukisan. Mereka menginginkan hal ini, mereka membutuhkan semua ini seperti orang lapar membutuhkan makanan. Dan mereka tidak pernah menyadarinya selama ini. Mereka tidak pernah tahu.
Seperti itulah rasanya bagi anak-anak yang membutuhkan musik atau lukisan atau puisi. Jika tidak ada perjumpaan kebetulan seperti di atas, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari rasa lapar mereka. Mungkin mereka akan menjalani saja seluruh hidup dalam keadaan lapar budaya tanpa menyadarinya.
Efek kelaparan budaya memang tidak dramatis dan seketika. Ia tidak mudah terlihat.
Dan sejumlah orang tidak pernah mengalami perjumpaan seperti itu; dan mereka beres-beres saja. Jika semua buku dan semua musik dan semua lukisan di dunia ini lenyap dalam semalam, mereka tidak akan merasa lebih buruk. Mereka bahkan tidak akan tahu.
Tetapi rasa lapar itu dirasakan oleh anak-anak, dan seringkali tak terpenuhi karena tidak ada yang menyadarkan mereka. Banyak anak di berbagai belahan dunia mengalami kelaparan akan sesuatu yang memberi kebugaran dan memelihara jiwa mereka, yang tidak tergantikan oleh hal-hal lain.
Kita mengatakan bahwa setiap anak memiliki hak atas makanan dan tempat tinggal, pendidikan, perawatan medis, dan sebagainya. Kita harus memahami juga bahwa setiap anak memiliki hak untuk menikmati kebudayaan. Kita harus sepenuhnya memahami bahwa tanpa cerita, puisi, lukisan, dan musik, anak-anak akan kelaparan.
Tetapi jika Anda tidak memberi mereka kesenian dan cerita dan puisi dan musik, kerusakannya tidak begitu mudah dilihat. Tubuh mereka cukup sehat; mereka dapat berlari dan melompat dan berenang dan makan dengan lahap dan bersuara berisik, seperti lazimnya anak-anak, tetapi ada sesuatu yang hilang.
Memang benar bahwa sejumlah orang tumbuh tanpa mengenal kesenian dalam bentuk apa pun, dan mereka terlihat bahagia. Mereka menjalani kehidupan yang baik dan berharga, dan tak ada buku di rumah mereka, dan mereka tidak begitu peduli pada lukisan, dan mereka tidak tahu pentingnya musik. Tidak ada masalah. Saya tahu orang-orang yang seperti itu. Mereka tetangga-tetangga yang baik dan warga negara yang bermanfaat.
Tetapi beberapa orang lainnya, pada tahap tertentu di masa kecil atau di masa muda mereka, atau bahkan mungkin di usia tua mereka, mengalami sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bagi mereka, pengalaman itu sama asingnya dengan sisi gelap bulan. Suatu hari mereka mendengar pembacaan puisi di radio, atau melewati sebuah rumah dengan jendela terbuka dan melihat seseorang bermain piano, atau melihat poster sebuah lukisan di dinding rumah seseorang, dan pengalaman itu memberi pukulan yang mengejutkan namun lembut sehingga mereka merasa pening. Mereka tidak pernah dipersiapkan untuk mengalami hal ini.
Tiba-tiba mereka menyadari ada rasa lapar, meskipun mereka tak memikirkan hal itu semenit sebelumnya; rasa lapar akan sesuatu yang manis dan lezat sehingga hampir menghancurkan hati mereka. Mereka hampir menangis, mereka merasa sedih dan gembira dan sunyi, disambut oleh pengalaman yang benar-benar baru dan aneh ini.
Mereka ingin mendengarkan radio, mereka tercenung lama di luar jendela, dan mata mereka tidak bisa beralih dari poster lukisan. Mereka menginginkan hal ini, mereka membutuhkan semua ini seperti orang lapar membutuhkan makanan. Dan mereka tidak pernah menyadarinya selama ini. Mereka tidak pernah tahu.
Seperti itulah rasanya bagi anak-anak yang membutuhkan musik atau lukisan atau puisi. Jika tidak ada perjumpaan kebetulan seperti di atas, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari rasa lapar mereka. Mungkin mereka akan menjalani saja seluruh hidup dalam keadaan lapar budaya tanpa menyadarinya.
Efek kelaparan budaya memang tidak dramatis dan seketika. Ia tidak mudah terlihat.
Dan sejumlah orang tidak pernah mengalami perjumpaan seperti itu; dan mereka beres-beres saja. Jika semua buku dan semua musik dan semua lukisan di dunia ini lenyap dalam semalam, mereka tidak akan merasa lebih buruk. Mereka bahkan tidak akan tahu.
Tetapi rasa lapar itu dirasakan oleh anak-anak, dan seringkali tak terpenuhi karena tidak ada yang menyadarkan mereka. Banyak anak di berbagai belahan dunia mengalami kelaparan akan sesuatu yang memberi kebugaran dan memelihara jiwa mereka, yang tidak tergantikan oleh hal-hal lain.
Kita mengatakan bahwa setiap anak memiliki hak atas makanan dan tempat tinggal, pendidikan, perawatan medis, dan sebagainya. Kita harus memahami juga bahwa setiap anak memiliki hak untuk menikmati kebudayaan. Kita harus sepenuhnya memahami bahwa tanpa cerita, puisi, lukisan, dan musik, anak-anak akan kelaparan.
***
• Ditulis oleh Philip Pullman pada peringatan kesepuluh Astrid Lindgren Memorial Award, 2012. Tulisan aslinya bisa diakses di Blog Astrid Lindgren Memorial Award.
Blog itu sekarang berhenti. Tulisan terakhir adalah pada 15 Januari 2019, berisi pengumuman bahwa mereka tidak akan menulis lagi untuk blog tersebut.
PHILIP PULLMAN adalah
salah satu penulis paling terkenal saat ini. Dia terkenal karena novel
triloginya His Dark Materials (terdiri atas The Golden
Compass, The Subtle Knife, dan The Amber Spyglass), yang dinobatkan
sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa oleh majalah
berita mingguan Newsweek dan salah satu novel terhebat
sepanjang masa oleh Entertainment.
Dia juga telah memenangi banyak penghargaan, termasuk Medali Carnegie untuk The Golden Compass, Penghargaan Whitbread (sekarang Costa) untuk The Amber Spyglass; nominasi Booker Prize untuk The Amber Spyglass; dan Penghargaan Astrid Lindgren Memorial pada 2005.
Tanya jawab menarik tentang buku favorit, musik dan film kesukaan Philip Pullman, dalam acara BBC Five Minutes With.
Dia juga telah memenangi banyak penghargaan, termasuk Medali Carnegie untuk The Golden Compass, Penghargaan Whitbread (sekarang Costa) untuk The Amber Spyglass; nominasi Booker Prize untuk The Amber Spyglass; dan Penghargaan Astrid Lindgren Memorial pada 2005.
Tanya jawab menarik tentang buku favorit, musik dan film kesukaan Philip Pullman, dalam acara BBC Five Minutes With.
Selasa, 22 Oktober 2019
Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati
Ariefiani Harahap
- 22 Oktober 2019 12.57 WIB
Salah satu Penghayat Kepercayaan, Pahoman Urip Sejati asal Magelang
yang sedang melakukan peribadatannya | foto: riauberita.com
Adanya berbagai kepercayaan merupakan salah satu
keragaman yang menjadi ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut bisa
ditemukan juga pada penghayat kepercayaan sebagai salah satu kelompok yang
sering terlupakan bahkan asing bagi sebagian masyarakat.
Penghayat kepercayaan sendiri adalah mereka yang menganut
aliran kepercayaan diluar enam agama dominan yang dikenal masyarakat umum di
Indonesia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Adanya
aliran kepercayaan tersebut merupakan warisan yang diturunkan oleh leluhur
berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Keberadaan
penghayat kepercayaan di Indonesia
Sebelum masuknya agama mayoritas di Indonesia, Arkeolog
Agus Widiatmoko menjelaskan pada historia.id bahwa agama atau kepercayaan
terdahulu yang dipegang oleh para penghayat memiliki tiga prinsip yaitu
hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia dan dengan
tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Beberapa contoh aliran yang cukup besar diantaranya
seperti; Sunda Wiwitan dan Buhun yang dianut orang-orang Sunda, Kejawen yang
dianut masyarakat Jawa, Marapu yang merupakan agama asli dari Pulau Sumba,
Kaharingan dan Tolotang yang berasal dari Kalimantan, Ugamo Malim atau Parmalim
dari suku Batak dan Madrais yang merupakan agama Jawa-Sunda.
Selain aliran-aliran tersebut masih banyak lagi aliran
kecil di Indonesia yang juga merupakan bagian dari penghayat kepercayaan.
Walaupun belum ada jumlah pasti terkait jumlah penghayat
kepercayaan, dilansir dari tirto.id beberapa data menunjukkan keberadaan mereka
ditengah masyarakat Indonesia. Sensus penduduk 2010 misalnya, mencatat ada
299.617 penghayat kepercayaan atau sekitar 0,13% yang terhitung dari jumlah
total penduduk Indonesia.
Selain itu ada juga perkiraan jumlah berkisar sepuluh
hingga dua belas juta orang di seluruh Indonesia yang dikeluarkan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Berada.
Melihat kembali
kondisi penghayat kepercayaan di Indonesia
Dalam perjalanannya aliran kepercayaan sempat mengalami
kondisi yang naik turun. Pada historia.id Sudarto peneliti dari Setara
Institute menjelaskan bahwa jumlah penghayat kepercayaan pernah mengalami
peningkatan setelah pemilu pertama yang dilakukan pada 1955 .
Saat itu ada sekitar 350 kelompok yang dikonsolidasi oleh
mantan wakil perdana menteri KRT Wongsonegoro. Hal tersebut juga terakomodir
lewat pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan
“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk utuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaan itu”
Namun Pada 1965 juga sempat keluar UU PNPS No. 1 yang
berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah,
dari aliran-aliran lain. Hal tersebut pun berimbas pada para penghayat
kepercayaan.
Berbagai kendala seringkali muncul, mulai dari sulitnya
mendapatkan hak-hak seperti pendidikan atau pekerjaan hingga penerimaan di
masyarakat. Hal tersebut kerap membuat beberapa dari mereka berpindah pada
agama mayoritas.
Kartu Tanda Penduduk salah seorang penghayat kepercayaan | foto:
tirto.id
Setelah berbagai hal yang dilalui oleh masyarakat
penghayat kepercayaan, dukungan terhadap mereka akhirnya mulai terlihat.
Realisasinya dibuktikan dengan dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di
dalam E-ktp oleh Ditjen Dukcapil pada 2019.
Masyarakat penghayat kepercayaan yang gugatannya dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) | foto: detik.com
Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang mengabulkan gugatan masyarakat
penghayat kepercayaan terkait kewajiban negara untuk mengakui dan menulis
(tidak lagi mengosongkan) kolom agama pada KTP yang dimiliki penghayat kepercayaan.
Walaupun secara identitas keberadaannya telah diakui,
dibutuhkan edukasi lebih lanjut pada masyarakat luas terkait keberadaan para
penghayat kepercayaan. Hal tersebut harus dilakukan untuk mendorong sikap
terbuka masyarakat terhadap mereka sehingga tak ada lagi diskriminasi yang
diterima oleh para penghayat.
Rabu, 09 Oktober 2019
Eka Kurniawan Tolak Anugerah Kebudayaan dari Kemendikbud
Oleh: Hendra Friana - 9 Oktober 2019
Potret Eka Kurniawan saat hadir di Indonesia International Book Fair di
JCC, Jakarta, Sabtu (15/9/18). tirto.id/Hafitz Maulana
Eka Kurniawan menilai negara belum serius menghargai
kerja-kerja seni dan kebudayaan, dan menolak penghargaan yang diberikan
Kemendikbud kepadanya.
Novelis Eka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dan
Maestro Seni Tradisi 2019 yang bakal diberikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) kepadanya pada Kamis (10/10/2019) malam.
Sikap yang ia sampaikan secara terbuka melalui akun
Facebook pribadinya itu dilandasi sejumlah alasan. Salah satunya, karena
pemerintah tak sungguh-sungguh memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan
seni, dan pegiat kebudayaan secara umum
"Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan," tulisnya.
Ketidakseriusan negara dalam mengapresiasi kerja-kerja
seni dan kebudayaan, kata Eka, pertama-tama terlihat dari kontrasnya hadiah
yang ia terima dengan para atlet atau olahragawan yang memenagi olimpiade.
Para penerima
anugerah dari Kemendikbud tersebut hanya mendapat, antara lain, pin dan uang
Rp50 juta --yang dipotong pajak. Sementara peraih emas dalam Asean Games,
misalnya, memperoleh Rp1,5 miliar dan peraih perunggu memperoleh Rp250 juta.
"Kontras semacam itu seperti menampar saya dan membuat saya bertanya-tanya, Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?" keluh Eka.
Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan dianaktirikan
itu, alasan paling penting yang dipaparkan Eka adalah absennya negara dalam
melindungi iklim intelektual secara luas. Beberapa waktu, tulis Eka, sejumlah
toko buku kecil digeruduk dan buku-buku dirampas oleh aparat. Tapi negara abai
dan tak pernah turun tangan untuk menghentikan tindakan
"anti-intelektualitas" tersebut.
Padahal, kejadian itu bukan yang pertama dan kemungkinan
akan terus terjadi di masa mendatang. Negara juga dinilai mangkir dalam
melindungi industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para
penulis, yang menjerit dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku.
Menurut Eka, jika perlindungan kebebasan berekspresi
masih terengah-engah, setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan secara
ekonomi dan meyakinkan semua orang di industri buku bahwa hak-haknya tidak
dirampok.
"Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis [bahkan siapa pun] atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan," lanjutnya.
Lantaran hal-hal itu lah, beberapa hari lalu, Eka
membalas surat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud untuk
menegaskan dirinya tak akan datang malam penganugerahan dan menolak penghargaan
yang diberikan kepadanya.
Menerima
penghargaan tersebut, menurutnya, menjadi semacam "anggukan kepala"
untuk kebijakan-kebijakan negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja
kebudayaan, bahkan cenderung represif.
"Kesimpulan saya, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan," tegas Penulis novel Cantik itu Luka tersebut.
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor:
Gilang Ramadhan
Negara tak punya komitmen
untuk melindungi para seniman dan penulis atas hak dasar mereka: kehidupan.
Tirto.ID