Hawe Setiawan
ROMANSA Perjalanan karya Kirjomulyo.*/DOK. PR
MENDIANG Kirjomulyo mewariskan Romansa Perjalanan (1955).
Kumpulan puisi ini menghimpun 73 judul puisi, yang terbagi ke dalam tiga
bagian. Bagian “Romansa Perjalanan” I
dan II berlatar Pulau Jawa sedangkan bagian ketiga berlatar Pulau Bali.
Kata “romansa”
mengingatkan kita kepada judul kumpulan puisi lainnya, Romansa Kaum Gitana (1973) karya
penyair Federico Garcia Lorca dari Spanyol.
Itulah terjemahan mendiang Ramadhan KH dari Romancero Gitano. Semula, ketika buku
puisi Kirjomulyo pertama kali muncul, kata itu ditulis dengan ejaan “romance” seperti yang kita kenal dalam
bahasa Inggris.
Romance, romancero,
romansa—saya tidak tahu artinya yang tepat. Namun, jika kita berkaca kepada
karya Kirjomulyo, kata itu kiranya mengacu kepada curahan perasaan, yang penuh
cinta dan ketakjuban, dalam latar tertentu.
Dalam buku ini sang aku lirik mendendangkan perasaan dan
pikirannya seraya menempuh perjalanan.
Terbayang sosok penyair kelana yang mengunjungi kota dan
desa, gunung dan pantai, pulau dan laut. Ia bergerak dari barat ke timur, dari
Tatar Sunda dan Jakarta ke Yogyakarta, Malang, Surabaya, terus melintasi selat
Bali. Puisinya seperti jadi jejak perjalanannya.
Sebuah petikan puisi, yang bertajuk “Ulang Tahun”,
disertakan di luar daftar isi. Dengan itu timbul kesan bahwa bagi penyairnya
sendiri, barangkali, buku ini merupakan sebentuk retrospeksi.
Sajak-sajak berlatar Jawa umumnya panjang, sarat renungan
sedangkan sajak-sajak berlatar Bali jauh lebih singkat.
Sajak pertama, “Romansa Kecapi Sunda” terdiri atas 24
bait sedangkan sajak terakhir, “Akhir Bulan Delapan”, terdiri atas enam bait.
Jika dibaca dari kiri ke kanan, dari Sunda Besar ke Sunda
Kecil, menuruti susunan isi buku, tampak pula semacam perjalanan yang penuh melodi
menuju kepadatan lirik.
Samar-samar terdengar gema suara para penyair terdahulu.
Dalam “Anak Sapi dan Pura” misalnya, terdengargema Amir Hamzah: “Rindu sebenar rindu/dendam sebenar dendam”.
Begitu pula dalam “Kapal-kapal di Pelabuhan”, kita mendengar gema Chairil
Anwar: “sejauh derai angin, derai
cemara”.
Kirjomulyo segenerasi dengan Rendra. Dalam sajak Rendra,
“Lelaki Sendirian”, yang dimuat dalam antologi Empat Kumpulan Sajak (1961), kita ikut membayangkan Kirjomulyo
duduk seraya “memandang ke luar jendela”.
Sosok “lelaki” dalam sajak itu dilukiskan “bagai
kerbau kelabu” yang diam “tapi di
hatinya ada hutan/dilanda topan”.
Dalam Romansa Perjalanan pun kita mendapat
gambaran tentang seorang lelaki soliter yang membawa kerusuhan hatinya sendiri
dari satu ke lain tempat.
Apa gerangan yang mendorongnya? Dalam puisi “Surabaya”
kita menangkap isyaratnya:
Aku pergi terdesak
kesunyian
ingin mengujudkan cinta
dalam tualang dan puisi
dalam pelukan dan pergulatan
Dalam puisi “Surabaya”, sebagaimana dalam puisi “Malam di
Kereta Api”, sang petualang sunyi, yang menumpang kereta malam, “melihat muka
sendiri” pada kaca jendela.
Ia bergerak sendirian ketika “langit serasa akan menutup”
dan alam di luar jendela menghilang dalam kegelapan.
Di satu pihak, hasrat bertualang, sebagaimana yang
isyaratnya tertangkap dari puisi “Kota Kelahiran”, rupanya jadi perlawanan
tersendiri terhadap “kedamaian tua”.
Sang petualang melihat “kemiskinan melekat di
dinding-dinding” dan “kegelisahan mengarat di rumah-rumah tua”. Ia merasa asing
dan sunyi di kotanya sendiri. Ia tak mau membenamkan diri di “rumah hantu”.
Di lain pihak, gugatan dalam diri tidak sampai memupus
cinta kepada “tanah air”. Dalam puisi “Tumpah Darah”, yang didedikasikan kepada
penyair Sitor Situmorang, kegelisahan rupanya tidak sampai membersitkan niat
buat “lari” ataupun “lupa”.
Ia sudah “terlanjur” cinta, bahkan di antara sesama
penyair rupanya disampaikan “salam sekandung”.
Cinta kepada “tumpah darah” kiranya lazim pada penyair
dasawarsa 1950-an sebagaimana kesanggupan mengarahkan diri kepada alam. Dalam
puisi Kirjomulyo, alam itu bisa berupa pegunungan, muara sungai, laut, jalan,
danau, bulan, pura, dan sebagainya. Dikatakan bahwa “jalanan waktu serupa
jalanan alam”. Bahkan ia mendapatkan “rumah alam”.
Alam pun jadi cermin buat diri.Sang penyair “menemui diri
... dalam tualang alam”. Simak, misalnya, puisi “Danau Pagi” berikut ini:
Kulempar batu ke
tengah danau
pecah di air sebuah lingkaran
pudar di tepi, pudar di cahaya
tak beda antara
diri
ada saat
terlempar hati
Pecah satu getar
lingkar
hanya pudar di saat lupa
lahir di saat duka
Demikianlah sang penyair datang, mengucap salam, melihat
alam, dan merenungi diri. Ia bergelut dengan waktu dan peristiwa, juga dengan
dirinya sendiri.Dan perjalanannya, barangkali seperti yang dikatakannya
sendiri, pada dasarnya merupakan perjalanan untuk “mencapai kematangan puisi”.
***