Pengantar Kumpulan Puisi “Bulan
Menggantung” karya Pitra Suwita
Selalu ada hal yang bisa ditulis
dari apa yang dipikirkan dan dirasakan, dari apa yang dialami dan dilakoni
manusia. Ihwal lakon kemanusiaan, dengan begitu, menjadi laman kandung bagi
nilai-nilai etika dan estetika.
Yang pada gilirannya melahirkan
ide-ide, pemikiran serta spirit kecintaan seorang penulis pada dunianya.
Kecintaan seorang penyair pada jagad perpuisiannya. Interest cinta dan
kemanusiaan memang menjadi sumber tema atas inspirasi yang tak kunjung mengering;
sepanjang hayat penyair.
Begitu pun, saat membaca puisi-puisi
Pitra Suwita dan menggelagati di kedalamannya atas adanya dua perkara; nilai
dan makna atas pusinya.
Saya mengantarkan hadirnya kumpulan
puisi “Bulan Menggantung” ini, bukan dalam kapasitas sebagai esais sastra.
Melainkan lebih karena romantisme perkariban. Sebuah keintiman yang tak bisa
diukur dan dibelenggu dengan lamanya waktu, melainkan oleh intensitas proses
berkesenian yang dilandasi prinsip-prinsip kesetaraan.
Intensitas keintiman yang
memungkinkan saya untuk bergaul pula dengan ide-ide serta pemikiran
kepenyairannya.
Menggauli pemikiran kepenyairan,
menurut hemat saya, bukan dengan meminta penyair mengurai-jelaskan proses
kreatif puisi karyanya di hadapan sidang pembaca. Ihwal yang acapkali dianggap
merupakan tanggungjawab moral penyair, bukan lah “benang kusut” epistimologi
keterasingan jagad kepenyairan itu sendiri; yang lantas mewajibkan sang penyair
membumikan imajinasi transformatifnya.
Saya lebih mengimani pendapat
sebagian kritikus sastra, bahwa selepas puisi dari tangan dan ruang cipta sang
penyair, maka ia –puisi itu- tengah meniti takdirnya sendiri.
Hal ini berlaku pula bagi 59 puisi
karya Pitra Suwita dalam kumpulan ini. Dimana nilai dan makna menjadi taut
bagian dari perjalanan takdir itu. Menilai dan memaknai puisi, adalah wilayah
apresian yang tak pernah cukup memahaminya dengan melulu membaca secara
tekstual saja. Memahami sebuah karya sastra mesti lah dicerna dengan membaca
singkap konteksnya juga.
Beberapa puisi Pitra Suwita,
disamping sebagian kuat nuansa dan idiom kejawaannya, memang memadat pada
pilihan kata-kata yang sublim. Bahkan nyaris tanpa makna jika dibaca teks
verbalnya semata. Pada kesempatan ini saya mesti katakan bahwa membaca –secara
tekstual- saja atas puisi; tidak lah cukup sampai pada maknawiahnya. Pembaca
dapat menjadi bagian riwayat atas puisi itu sendiri, di tempat dan ruang mana
puisi jadi bertutur dengan bernas.
Menjadi bagian dari riwayat tutur
sastra puisi adalah ciri dasar entitas masyarakat apresian.
Kalau lah pengantar ini tak cukup
halaman buat mendeskripsikan panjang lebar pergumulan saya dengan puisi dan
pemikiran penyairnya, maka semata-mata karena ihwal interpretasi atas puisi-puisi
dalam kumpulan ini merupakan wilayah yang dimerdekakan sepenuh-penuhnya ke
haribaan pembacanya. Kemerdekaan penuh itu, tentu, meniadakan tafsir tunggal
atas karya. Dimungkinkan ada ambiguitas makna atau bahkan keberagaman interpretasi,
karena pembaca juga memiliki kedaulatannya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar