1. Catatan Kebumen atas Pentas Teater Ego
Proses maju, barangkali benar tak diukur oleh kwantitas waktu. Intensitas, ketidakmenyerahan, lekat konsistensi; menjadi penggalan-penggalan yang membangun tanda. Dan membuat ukuran-ukuran yang baru karenanya. Begitulah simak perjalanan setahun terakhir Teater Ego Kebumen. Hingga pada pementasan produksi ke 2 bertajuk Tarmiihim malam itu. Rabu (8/6) memang menjadi tarikh yang memadatkan dugaan bahwa kelompok teater ini bukan sebuah konten seni peran yang suwung. Selain bahwa perjalanannya meninggalkan jejak sebagai sebuah proses maju.
Adalah Putut AS sang sutradara yang mengeksplorasi pementasan naskah Salim EmDe bersama belasan pelakon di Gedung Haji itu. Malam yang membedakannya dengan “peristiwa budaya” dalam tema yang serupa, pada tempat yang sama; di tahun sebelumnya.
Melempar (yang usang) dalam Otopsi
Luka yang tak sembuh itu karenanya muncul jadi cacat budaya, relasi dominan Kyai atas Nyai, laki-laki atas perempuan. Dan terjaga dalam referensi teks-teks yang dipiara untuk tak utuh dibedah dalam tafsir. Karena tafsir adalah sesuatu yang harus dimonopoli. Kelas sosial tertentu dianggap menjadi yang paling berhak atas pekerjaan interpretasian itu, bukan kelas yang mewakili para kebanyakan, yang “hanya” bekerja di sudut yang tersekat kubikel pelayanan. Terpuruk beku, berdiam di sana. Lalu Tarmiihim mencairkan dan membunyikannya.
0 komentar:
Posting Komentar