22 Juli 2019 16.23 WIB - Kevin Naufal
Keturunan Wangsa Bonokeling © commons
Suatu wangsa penganut kepercayaan Jawa kuno yang sangat
menjunjung tinggi terhadap leluhurnya, sering menggelar ritual unggahan atau
berziarah ke pusara makam keramat leluhurnya.
Wangsa itu sendiri berarti kelanjutan atau keturunan dari
suatu kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan kerajaan
itu sendiri. Bonokeling, yang diambil dari nama seorang Kyai yang konon
mempunyai penghormatan tertinggi yang dianggap leluhur pada masanya di sebuah
Desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Konon, Kyai Bonokeling yang dipercaya berasal dari daerah
Pasirluhur, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap warga sekitar. Karena hal
tersebut, nama Bonokeling menjadi identitas warga sekitar.
Hal ini juga ditegaskan ketua pengikut Bonokeling, yakni
barang siapa yang ingin mengetahui sosok Kyai Bonokeling secara jelas, maka dia
harus mutlak menjadi pengikut setiannya.
Wangsa ini mempunnyai tradisi yang hampir serupa dengan
tradisi nyadran atau unggahan unggahan yang sama-sama
berkunjung ke makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim setempat saat
menjelang bulan Ramadan tiba.
Perbedaan mencolok pada tradisi nyadran dan unggahan yakni
prosesi ritus adat dari unggahan yang masih menjunjung tinggi
kebudaayan lokal yang menjadikan masyarakat Bonokeling tetap melestarikan turun
menurun ini.
Tradisi ini biasa di gelar di Desa Cagar Budaya Pekuncen,
Kabupaten Banyumas yang ditemput sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota
Purwokerto, Jawa Tegah.
Sumber: Mongabay
Hal mencolok yang terlihat dari budaya adiluhung
Bonokeling ini masih terwujudnya tanah agraris dan wujud kebudayaan Jawa kuno.
Ritual unggahan ini masih dilaksanakan rutin
oleh anak cucu dari Kyai Bonokeling setiap tahun di hari Jumat yang bertepatan
sebelum bulan Ramadan tiba. Ritual ini melibatkan hingga seribu penganut
kepercayaan Bonokeling dari berbagai desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Banyumas.
Dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil yang
terletak di Kabupaten Cilacap yang masyarakatnya masih banyak menganut ajaran
wangsa Bonokeling. Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari
baru muncul, dengan memulai dengan melakukan caos bekti atau yang
berarti salam penghormatan pada para tokoh pemangku yang paling dihormati dalam
rumah adat pasemuan.
Pada prosesi caos bekti, para penganut Bonokeling
dari yang muda hingga yang tua, semua akan berjalan kaki puluhan kilometer
menuju Desa Pekuncen yang ada di wilayah Kabupaten Banyumas.
Berjalan kaki menyimbolkan napak tilas dari perjalanan
leluhur dari wangsa ini, yakni Kyai Bonokeling saat menyebarkann ajarannya.
Sembari berjalan, beberapa warga akan terlihat memanggul
wadah yang berisi sesaji dan uba rampe yang berisi hasil panen dari
ladang dan ternak mereka sebagai persembahan dan rasa syukur.
Selama prosesi tersebut, para kelompok itu akan dipimpin
oleh ketua adat selama beberapa hari ke depan. Makam keramat Kyai Bonokeling,
mendadak ramai dan diserbu oleh ribuan wangsanya. Semua desa akan ramai dan
meriah sebuah hajatan agung tapi tetap sakral.
Saat pertengahan malam hingga pagi tiba, suasana desa
akan dipenuhi nyanyian tembang-tembang Jawa, yang berisi pujian-pujian atau
perkataan baik yang dipanjatkan kepada Kyai Bonokeling.
Sumber: The Jakarta Post
Menjelang siang, para pria dari wangsa ini akan
berbondong-bondong menyembelih hewan ternak hasil mereka sebagai wujud
persembahan yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap. Hasil bumi itu
akan dipersembahkan kepada sesama penganut Bonokeling dan memasaknya
bersama-sama secara masal untuk dimakan bersama di sekitar area makam Kyai
Bonokeling.
Ratusan perempuan dengan berbalut kemban putih akan
memasuki makam Kyai Bonokeling satu per satu dengan khitmad. Para perempuan
akan membasuh anggota badannya satu per satu, mulai dari kaki, tangan, wajah
sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.
Kemudian mereka akan duduk sambil mengatupkan kedua
telapak tangan yang diangkat tinggi oleh mereka. Hal itu bertujuan menghaturkan
kehormatan di depan makan keramat.
Sumber: media cagak budaya
Dalam kepercayaan Bonokeling, perempuan mempunyai
kedudukan yang lebih dihormati daripada pria, sedangkan saat sore hari, kaum
pria akan menyusul sambil membawa hasil masakan mereka kedalam pusara makam.