IQBAL AJI
DARYONO - Selasa, 30 April 2019
Literasi itu sikap mental. Itulah yang kemudian saya
percaya. Sikap literate bukan sesederhana sikap mau membaca teks, apalagi
sekadar mau membaca buku. Literasi adalah sikap rakus akan pengetahuan,
sekaligus sikap berusaha memahami pengetahuan dengan holistik dan komprehensif,
dari beragam sudut pandang, dan proses pemahaman itu dijalankan dengan kritis
bahkan skeptis.
Sadarkah Anda bahwa kita ini terlalu mengagung-agungkan buku?
Saya tiba-tiba memunculkan praduga itu justru ketika kemarin ingin merayakan
Hari Buku Sedunia 23 April. Ini kutukan yang sungguh tidak mengenakkan.
Suatu ketika, saya dikontak oleh seorang kawan, sebut
saja namanya Mawar. Mawar yang sedang kuliah pascasarjana itu menanyakan
beberapa hal kecil terkait kubu konservatif dan kubu liberal di Muhammadiyah.
Setelah obrolan sana-sini, saya malah menyadari bahwa dia
belum cukup bisa membedakan antara gerakan Tarbiyah (yang mewujud secara
politik di Indonesia menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Salafi, dan Hizbut
Tahrir.
Jadi, ada sebuah kalimatnya yang kira-kira menyatakan
bahwa kelompok PKS dengan dukungan dana dari Arab Saudi berjuang mendirikan
khilafah.
Para mantan anak rohis pasti paham, ada masalah dalam pernyataan
tersebut. PKS termasuk jaringan transnasional Ikhwanul Muslimin. Mereka
bukan underbouw Arab Saudi. Yang ngegrup dengan Saudi itu kelompok
Salafi, dan kelompok itu sangat tidak suka dengan Ikhwanul Muslimin.
Belum lagi soal
khilafah. Kampanye khilafah yang selalu kita dengar secara terang-terangan itu
dijalankan oleh Hizbut Tahrir, bukan PKS. Begitu gambaran simpelnya, meski peta
turunannya bisa lebih rumit lagi.
“Lho, tapi di buku berjudul Anu, disebutkan begitu, Mas.
Ada buku yang mendukung pernyataan Mas Iqbal tidak? Apa judulnya?” sambar
Mawar.
Saya menjawab tidak. Saya belum pernah membaca buku yang
sesuai dengan pandangan saya itu. Tapi, saya tahu bahwa buku yang dibaca Mawar
itu salah. Basis bantahan saya atas buku bacaan Mawar itu adalah pengalaman dan
pergaulan.
Saya sendiri mantan anak Tarbiyah, dan dari pandangan
resmi para murobbi (guru) saya di Tarbiyah, saya tahu bahwa mereka
juga memendam rivalitas tertentu dengan salafi dan HTI. Selain itu, saya pun
punya beberapa teman salafi dan HTI. Dari segenap pernyataan mereka, saya tahu
pasti bahwa kalimat dalam buku yang dibaca Mawar itu ngawur.
Pendek kata,
ketiga kelompok itu bukan entitas tunggal sebagaimana sekilas digambarkan dalam
buku yang dibaca Mawar.
“Oh, kalau tidak ada sumber tertulisnya, aku tidak bisa
menggunakan argumen Mas Iqbal untuk membantah buku yang aku baca itu, Mas”,
sambung Mawar.
Saya tercenung.
***
Jadi, urusannya hanya soal buku dan bukan buku? Di titik ini, saya disodori
realitas politik kebudayaan yang absurd: bahwa batas antara benar dan salah
ditetapkan semata-mata oleh tulisan. Sebuah pernyataan yang saya yakin itu
benar dan berbasis pengalaman konkret dianggap tidak punya kekuatan apa-apa
hanya karena ia tidak tertulis dan tidak dibukukan. Adapun pernyataan yang amat
sembrono serta merta diposisikan ilmiah hanya karena ia diketik lalu dijilid
sehingga berbentuk buku.
Imajinasi saya pun menjadi liar. Sekarang, bagaimana
kalau saya mengatakan bahwa Republik Indonesia didirikan oleh pasukan alien
dari Planet Blubblubblub, lalu pernyataan itu saya ketik, saya print, kemudian
saya jilid? Apakah serta-merta ia menjadi berkualifikasi ilmiah? Bukankah
perbedaan antara buku dan bukan buku hanyalah di soal format fisik belaka?
Jika ya, apakah saya bisa mengatakan:
“Heh, jangan asal
mencela teori saya atas alien Planet Blubblubblub! Kalau mau membantah,
bantahlah dengan buku! Buku dibalas buku! Tulisan dibalas tulisan!” Apakah akan
semulia itu klaim historis saya atas Indonesia, hanya karena ia saya cetak dan
saya jilid?
“Sembarangan! Perbedaan buku dan bukan buku ya bukan cuma
di soal jilidan, lah! Ada cover, ada nama penulis yang jelas, ada nomor ISBN!
ISBN itu diberikan oleh Perpustakaan Nasional, Bung! Jadi buku yang punya ISBN
jelas diakui oleh lembaga sekelas Perpustakaan Nasional!”
Hehehe. Saya mantan pekerja buku, dan pernah
bertahun-tahun menjalankan usaha mencari nafkah dengan menerbitkan dan menjual
buku-buku. Saya pernah menerbitkan buku mulai yang bertema serius, sampai
sekadar kumpulan humor. Saya juga punya banyak teman seprofesi yang waktu itu
menerbitkan buku kumpulan SMS lucu, kumpulan kisah-kisah misteri yang tidak
jelas sumbernya, yang kalau di zaman internet ini Anda temukan pasti Anda tak
akan sudi membacanya.
Apakah Anda kira buku-buku sampah semacam itu tidak punya
ISBN? Ya jelas punyaaaa! Cari ISBN itu perkara gampang, dan pihak Perpustakaan
Nasional tidak berurusan sama sekali dengan isinya.
Lantas, apa yang terjadi sehingga sekarang ini semangat
literasi melulu cuma dilekatkan pada buku-buku? Bagaimana nasib sumber-sumber
pengetahuan selain buku, yang seakan-akan langsung ambruk martabatnya di
hadapan buku-buku?
***
Ada cerita yang lain lagi. Dalam satu diskusi tentang
literasi, kami berbincang tentang betapa tingginya marwah teks. Dengan teks,
dengan catatan-catatan tertulis, setiap produk pengetahuan bisa senantiasa kita
periksa, kita uji akurasinya, kita benturkan dan kita verifikasi bersama dalam
sebuah skema dialektika, dan dari situlah teks menemukan kejayaannya.
Seorang anak muda mendebatnya.
“Mohon maaf, saya
ini dari suku Bajo. Kami orang laut, tradisi kami tidak akrab dengan aksara.
Tapi kami punya sistem pengetahuan yang sangat kompleks, diwariskan
turun-temurun, diuji validitasnya dalam pengalaman-pengalaman nyata di
kehidupan kami, dihapalkan oleh para orangtua dan diteruskan kepada anak-anak
mereka. Apakah artinya kami ini orang-orang yang buta literasi?”
Tentu saja para pembela teks kelabakan mendengarnya.
Betul juga, pikir saya. Memang ada adagium Latin kuno berbunyi “Verba Volant
Scripta Manent”. Apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan
abadi. Dengan teks, produk-produk pengetahuan memang akan bertahan
berabad-abad. Namun, bukankah apa yang disebutkan oleh peribahasa tersebut tak
lebih dari perkara teknis konservasi pengetahuan?
Sekarang, ketika pilihan instrumen konservasi informasi
sudah semakin luas dan tak cuma berhenti pada kekuatan teks, apakah ayat suci
literasi tersebut masih relevan? Apakah tidak mungkin kita mengabadikan
pengetahuan dengan rekaman suara, dan lebih-lebih lagi dengan citra
audio-visual?
Itu pertanyaan dari level paling lugu. Yang lebih jauh,
kita bisa melompat sekian milenium ke belakang. Apakah dengan arogan kita akan
menyebut tradisi lisan masyarakat-masyarakat klasik sebagai tradisi yang
nir-literasi, lalu secara otomatis karakter tersebut kita maknai sebagai
keterbelakangan? Tak peduli masyarakat-masyarakat kuno tersebut mampu membangun
peradaban yang sophisticated, tapi karena tidak cukup banyak produk
pengetahuan tertulis warisan mereka yang dapat kita akses, artinya mereka bodoh
dan terbelakang! Oh, begitukah?
Jika literasi kita maknai sebatas kemampuan teknis untuk
memahami informasi dan pengetahuan dari deretan aksara, maka benarlah bahwa
orang Bajo nir-literasi. Akan tetapi, rasanya telah muncul pergeseran makna
literasi saat ini, sehingga menjadi semacam cara pandang yang penuh
penghakiman: “Literasi dibangun dari buku-buku, kalau mau pintar bacalah buku,
yang tidak baca buku sudah pasti tak akan pernah pintar.” Dengan pergeseran
semacam itu, perlu kita bongkar lagi makna literasi, sekaligus klaim-klaim yang
menyertainya.
Literasi itu sikap mental. Itulah yang kemudian saya
percaya. Sikap literate bukan sesederhana sikap mau membaca teks,
apalagi sekadar mau membaca buku. Literasi adalah sikap rakus akan pengetahuan,
sekaligus sikap berusaha memahami pengetahuan dengan holistik dan komprehensif,
dari beragam sudut pandang, dan proses pemahaman itu dijalankan dengan kritis
bahkan skeptis. Tanpa sikap semacam itu, mau kita membaca sejuta buku pun, kita
tidak akan pernah sampai ke titik kualitas literate yang sejati.
Kalau tidak percaya, coba periksa berbagai berita, apakah
Anda kira para teroris penghancur kemanusiaan itu tidak membaca buku-buku?
Hoho, jangan salah. Mereka membaca. Bedanya, mereka hanya membaca hanya dari
satu perspektif saja. Sekarang bayangkan Anda membaca seribu buku, tapi semua
buku tersebut hanya menyajikan satu sisi sudut pandang.
Apakah Anda akan tega mendaku diri sebagai pendekar
literasi?
Bahkan bukan cuma teroris, sebab ekstremisme bisa menimpa
siapa saja. Saya sering menjumpai orang-orang yang sangat banyak membaca buku
tapi rasa-rasanya jauh dari kualitas literate. Mereka kadung meyakini satu
teori sosial, misalnya, atau satu teori sejarah tentang sesuatu. Kemudian
mereka membaca ratusan buku dari sudut pandang yang sama belaka, yang
menetapkan pendapat yang mereka pegang itu sebagai kebenaran tunggal yang tak
terbantahkan.
Walhasil, ketika mereka mendengar ada orang lain yang
menyodorkan pandangan berbeda, yang tidak cocok dengan teori yang sudah mereka
pegang erat-erat tadi, mereka berkata, “Haesss, kamu itu kurang baca buku!”
Sikap genit semacam itu tumbuh karena ukuran “banyak
membaca buku” ditetapkan hanya dari jumlah bukunya, bukan jumlah dan variasi
sudut pandangnya. Di situlah akar masalahnya. Saya pribadi tidak ikhlas jika
para ekstremis-akademis semacam itu dianggap layak sebagai wakil jagat
literasi. Tapi itu cuma pendapat saya. Nggak tahu kalau pendapat Mbak Hanum dan
Mbak Tsamara.
***
Yang jelas, telah terjadi glorifikasi masif dan
sistematis atas buku-buku. Pengalaman nyata yang tak tertulis dikalahkan
martabatnya oleh buku-buku. Masyarakat berkebudayaan dan berpengetahuan tinggi
dianggap terbelakang hanya karena mereka tidak menyentuh dan memproduksi
buku-buku. Para ekstremis akademis yang membaca seribu buku dari sudut pandang
yang sama merasa lebih intelektuil dibanding orang yang membaca sedikit judul
tapi banyak perspektifnya.
Hasilnya adalah hegemoni teks, bahkan arogansi ilmiah lewat
buku-buku. Literasi ditegakkan hanya dalam makna wadahnya, bukan spirit yang
membangunnya.
Jika ini terus dibiarkan, semangat kita dalam merayakan
buku-buku akan terperosok dalam absurditas penetapan 23 April sebagai Hari Buku
Sedunia. Konon, tanggal ini awalnya dipilih sesuai dengan tanggal kematian
Miguel de Cervantes, pengarang novel Don Quixote. Dengan latar seperti itu,
pantas saja jika kadangkala para pembaca buku tumbuh jadi jenis-jenis manusia
halu yang—seperti halnya Don Quixote de La Mancha—merasa sedang menyerbu
raksasa, padahal hanya ada kincir angin di hadapannya.
Hahaha.
Mari tetap membaca buku. Tapi ingatlah bahwa kebenaran
dan hakikat semesta raya tidak akan bisa kita pahami cuma dari buku-buku.