This is default featured slide 1 title
BEBAL:"FPI"
Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnyaThis is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Minggu, 11 November 2018
Sembahyang Bhuvana
Pidato Kebudayaan DKJ
TIM, 10 November 2018
Selamat malam Bapak dan Ibu yang tercinta,
Tidak ada daya muslihat pada alam. Alam adalah angan-angan
terhadap yang nirmala, segala yang murni dan baik. Alam tidak saja bumi yang
dipijak, tempat bernaung, tetapi juga ruang menyejarah bagi manusia.
Alam menuangkan saripatinya menyangga kehidupan, tidak
terkecuali, manusia juga tergantung terhadapnya. Filsafat Timur sarat akan
ajaran-ajaran yang meletakan alam sebagai sumber pengetahuan. Sumber dalam
pengertian ini, tidak melingkupi sebatas dimensi empiris dari alam, melampaui
itu, alam dianggap sebagai tumpuan acuan moral. Dua aliran kuno India yakni Nyaya
dan Vaisesika menguraikan secara epistemologis, alam dan proses
pengetahuan manusia. Dua aliran ini menurut saya, merupakan pintu masuk ke
dalam sistematika klasik Filsafat India, Sad Darsana, atau enam
sistem filsafat.
Para pengikut aliran pemikiran Nyaya atau yang dikenal
sebagai kaum Naiyāyikamenjelaskan bahwa objek daripada pengetahuan adalah
elemen-elemen alam, yakni tanah, air, cahaya, udara dan ether[1]. Alam sebagai isian dari pengetahuan
manusia dapat dicapai melalui persepsi, penyimpulan, perbandingan dan kesaksian[2]. Metode-metode ini merupakan ajaran
khas Nyaya, yang disebut sebagai Catur Pramana atau empat cara
untuk mendapatkan pengetahuan. Adapun, teori logika dan pengetahuan
aliran Nyaya tidak mereduksi secara kering pemahaman alam sebagai
objek pengetahuan. Mereka menyatakan bahwa proses persepsi
atau pratyaksa dapat dipecah menjadi Savikalpa dan Nirvikalpa. Savikalpaadalah
pemahaman yang terukur, juga komprehensif tentang objek. Tetapi,
intelektualitas maupun pencerapan indrawi acapkali gamang saat menghadapi alam.
Nirvikalpa adalah perjumpaan manusia dengan alam yang liar, yang
membuatnya mustahil mengetahui secara konklusif apakah alam itu.
Sementara itu aliran Vaisesika melandaskan
teori pengetahuannya pada Dharma, bahwa segala cita-cita untuk mencari
pencerahan diharuskan mengarah pada Dharma. Pada pengertian ini,
harapan dari pencarian pengetahuan itu perlu ditegaskan demi kepentingan yang
baik dan didasari motif yang arif.
Baik Nyayamaupun Vaisesika sebagai aliran pemikiran yang secara
khusus membicarakan asal-usul pengetahuan, keduanya tidak pernah mengisolasi
topik epistemologis dari pertanggungjawaban etis. Filsafat melalui Nyaya dan Vaisesika adalah
pertautan antara epistemologi, aksiologi dan ontologi. Tertera di
dalam Vaisesika Sutra dengan berpedoman pada kebaikan, perlu
diketahui bahwa pengetahuan yang benar adalah pemahaman terhadap esensi. Esensi
yang dimaksud oleh pengikut Vaisesika adalah alam yang dibentuk oleh
atom-atom atau Paramanudalam tranformasi atau parinama yang
bersifat kekal.
Filsafat bagi
aliran Nyaya dan Vaisesika bukan semata-mata persoalan
permenungan intelektual mengenai dunia. Seseorang yang memiliki pengetahuan
terikat dengan kewajiban-kewajiban untuk bersikap adil dan
menegakan Dharma[3]. Premis-premis yang disusun didalam
silogisme Nyaya misalnya, bukan relevan untuk menyusun pengetahuan
tentang dunia saja atau untuk memeriksa kesahihan antara yang universal dan
partikular. Latihan pikiran untuk selalu konsisten dan kritis, bukan bertujuan
hanya untuk menyempurnakan retorika, tetapi harus mendorong seseorang itu untuk
dapat bertindak adil dan berbelas kasih. Realisme dalam
pemikiran Nyaya menempatkan manusia sebagai subjek yang memiliki
kebebasan untuk bertindak, dan ia selalu terikat secara etis terhadap pilihan-pilihannya.[4]
Apakah arti suatu pencarian filosofis dari
perspektif Nyaya dan Vaisesika? Metode-metode filsafat ditempuh
dengan seksama untuk menelusuri keheranan dan keterpukauan kepada alam. Belajar
dari alam berarti melihat bahwa kehidupan terus bergulir, laju transformatif
adalah keniscayaan. Itulah proses alamiah, ada kelahiran, kehidupan lalu kematian,
kemudian seterusnya. Manusia tidak dapat menyangkal proses ini.
Pemikir Vaisesika menyadari bahwa interaksi manusia dengan dunianya
mendorongnya untuk mengkontemplasikan persoalan kebahagiaan dan kesengsaraan.
Manusia ingin menjadi abadi, tetapi tubuhnya diselubungi duka, sebab
segala-galanya tidak kebal dari perubahan[5].
Pengetahuan adalah harapan untuk terbebas dari
kerterpasungan manusia pada duka. Tujuan utama dari pengetahuan
menurut Nyaya adalah melepaskan manusia dari kesengsaraan.[6] Hidup yang sengsara adalah kehidupan
yang jauh dari pengetahuan, hidup yang abai pada kehidupan yang harmonis dengan
alam. Merefleksikan kedermawanan alam, kita dapat mengetahui bahwa kehidupan adalah
anugerah, peristiwa istimewa yang perlu dirayakan dengan penghayatan dalam
menjalani keseharian kita.
Penghancuran yang terjadi pada alam, sejatinya adalah
pemusnahan pengetahuan. Dibinasakannya kebijaksanaan yang sepatutnya menjadi
bagian dari jatidiri manusia, hingga yang tersisa adalah tanah-tanah yang
tandus, samudera yang hening tanpa gumaman terumbu karang, serta langit yang
senyap dari kicauan burung-burung. Bersamaan dengan menghilangnya hutan purba
kita, lenyap pula roh harimau belang yang menjaga keselarasan. Lantas siapakah
manusia ketika alamnya tergerus menuju kepunahan? Pantaskah ia dinyatakan
sebagai makhluk yang berbudi, saat ia telah gagal menjaga keseimbangan yang
rentan tersebut ?
Naskah Tao Te Ching yang menjadi sumber utama
untuk aliran Filsafat Cina, Taoisme mengatakan bahwa langit dan bumi
bertahan dan berkesinambungan dikarenakan keberadaan mereka tidak berpusat
untuk dirinya sendiri. Ajaran Tao ini mengajukan suatu prinsip moral mengenai
pengorbanan diri yang diserap dari permenungan terhadap alam. Sifat dari pohon
adalah menjadikan tubuhnya sebagi sumber penghidupan seluruh makhluk di hutan
hujan. Tubuhnya yang besar dan menjulang tinggi menjadi kanopi tempat
berlindung berbagai makhluk hidup, ia menyerap air kemudian mengedarkannya.
Dedaunannya menyerap cahaya matahari yang kemudian menghasilkan energi, membuat
hutan hujan menyala, berdegup penuh vitalitas. Alangkah indahnya proses alamiah
itu, serta betapa malangnya manusia yang gagal mempelajari gerak alam yang
elegan itu.
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi bumi kita.
Perubahan ekstrem ini diakibatkan peran manusia, meningkatnya produksi emisi
yang terjadi dikarenakan tidak terkendalinya pembangunan. Dampaknya adalah
pencemaran pada tanah, air dan udara dalam skala masal, hingga kepunahan
spesies-spesies. Bumi tengah memanas, kutub utara kehilangan lapisan-lapisan
esnya, lautnya mendidih sehingga mematikan ekosistem terumbu karang.
Perubahan-perubahan ini bukanlah gerak-gerik evolutif alam yang membutuhkan
rentang masa yang panjang. Ketidakseimbangan ini disebut sebagai era
antroposen, suatu periode yang ditandai dengan campur tangan aktivitas manusia
yang memberi dampak global terhadap ekosistem di Bumi.
Kacaubalau kondisi lingkungan hidup ini dapat dianalisis
menggunakan pendekatan Nyaya dan Vaisesika. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Pos-Industri sedemikian pesat, manusia membusungkan dadanya dan
berbangga hati terhadap mesin, gawai dan gedung yang mereka ciptakan. Namun,
kemuliaan apakah yang dapat dicapai melihat tangisan orang utan, harimau, gajah
dan badak yang terbakar bersama hutannya yang dipakai manusia untuk
industrinya? Inilah kekhawatiran
cendikiawan Nyaya dan Vaisesika, saat keilmuan diputuskan dari
konsekuensi etisnya.
Manusia terpatah dari alam, ia memisahkan dirinya dari
makhluk hidup lainnya, kemudian mengukuhkan dirinya sebagai penguasa di puncak
hierarki. Ia merasa dirinya superior, dan berhak mendahulukan kepentingan
dirinya sendiri. Pengetahuan yang pada mulanya melingkar tertambat pada alam,
perlahan-lahan sirna, tertimbun dengan angkara dan keserakahan manusia.
Kerinduan terhadap pengetahuan yang sanggup menumbuhkan kembali simpul hubungan
dengan alam dapat dijumpai dalam naskah Upanisad. Salah satu bagian dari
teks yang bernama Chandogya Upanisad[7] bercerita tentang dialog antara dua
tokoh, Uddalaka dan Svetaketu. Svetaketu putra dari Uddalaka berperilaku angkuh
merasa pendidikan yang ia tempuh telah membuatnya seseorang yang paling pandai
mengenai kehidupan.
Uddalaka bertanya pada putranya, “apakah yang
sesungguhnya esensi dari alam semesta ini?” Svetaketu tersadar dari
kesombongannya, ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Uddalaka mengajak
putranya untuk melihat ke sekeliling mereka, keberadaan mereka tidak luput dari
alam. Segala pepohonan, beragam makhluk hidup sesungguhnya memiliki intisari
yang sama dengan manusia, yakni atman. Inti yang halus ini merupakan unsur
yang memungkinkan detak kehidupan. Svetaketu kemudian mengatakan Tat Twam
Asi, frasa yang menjadi fondasi etis dalam filosofi Hindu. Tat Twam
Asi berarti Aku adalah Engkau, melalui ajaran Uddalaka pengertian Engkau
dapat ditafsir sebagai keseimbangan relasi antara diriku dengan
alam. Upanisad sungguh kaya akan argumentasi-argumentasi yang
memperkuat prinsip kesatuan antara jiwa manusia
dengan Hiranyagarbha atau jiwa semesta.
Menghilangnya alam liar dalam kehidupan manusia selain
menimbulkan malapetaka serta kebencanaan, dari perspektif eksistensialisme,
menimbulkan pula disorientasi. Di manakah dan kemanakah arah bagi manusia saat
hutannya dibinasakan, gunungnya ditambang, teluknya ditimbun? Bagi masyarakat
adat Bali, hidup berpusat pada Gunung Agung. Gunung Agung adalah entitas yang
dijadikan titik mula segala arah. Mereka melihat kepada Gunung Agung sebagai
pembimbing kehidupan, mahaguru yang melimpahi mereka dengan pengetahuan dan
kesejahteraan. Arah mata angin mereka dimulai dengan Gunung Agung di utara
atau kaja, lalu selatan atau kelod yang berada di bawah Gunung
Agung, kemudian timur atau kangin dan barat atau kauh[8].
Hadirin yang saya hormati,
Generasi saya hidup terlilit dengan teknologi digital,
kami sulit memisahkan diri dari berkembangnya industri teknologi tersebut.
Keseharian masyarakat didikte dengan pengakuan yang dangkal, makna diukur dari
seberapa populer gambar disukai di laman media sosial. Studi terbaru menyatakan
bahwa kebahagiaan mental menurun dikarenakan citra-citra dalam sosial media
yang menampilkan keindahan, kebahagiaan, dan status sosial yang tidak realistis[9].
Ini yang dikhawatirkan oleh Martin Heidegger[10] dan Jacques Ellul[11] saat mengatakan bahwa teknologi
dapat terlepas dari kendali manusia, dan menjadi rantai serta borgol
ketidakbebasan bagi manusia. Nampaknya paranoia mereka tidak terlalu
berlebihan, teknologi robotik kini tengah mengembangkan tidak saja robot-robot
dengan kecerdasan buatan, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan emotif.
Tentunya, fiksi ilmiah yang menggambarkan para robot akan menduduki dunia
adalah skenario yang terlampau jauh.
Persoalan yang ingin saya soroti adalah betapa
motif-motif inovasi masih berkisar pada pengejaran narsistik manusia. Seperti
halnya Victor Frankenstein yang tidak memahami kekuasaan yang ia miliki, dari
tangannya ia tempa sains untuk memenuhi kegilaannya. Ia memompa nyawa ke dalam
suatu makhluk tanpa mempertimbangkan aspek etis dari tindakannya itu. Pada
akhirnya ciptaannya berbalik menjadi musibah baginya. Kita dimabukkan dengan
gemilang gawai-gawai yang menjanjikan kecepatan, ketersambungan, kebahagiaan,
tapi manusia modern tidak pernah merasa terpuaskan. Segala mesin-mesin ini
semakin menjauhkan manusia dari rasa utuh.
Tetapi, apakah teknologi perlu begitu ditakuti? Haruskah
relasi manusia dengan alat-alat buatannya begitu suram? Justru menurut saya,
ketidakpahaman kita terhadap teknologi tersebut yang menyebabkan berbagai macam
petaka. Dari penggunaan yang terlampau remeh, hingga penyalahgunaan yang
mendorong kehancuran pada planet ini. Pengertian serta sensibilitas kita
terhadap teknologi masih pada lapisan permukaan saja. Imajinasi serta hati kita
belum optimal membayangkan masa depan teknologi yang dapat mendekatkan kita
dengan alam.
Untuk kelas Filsafat Teknologi saya mengajak para
mahasiswa mengunjungi Planetarium. Suasana di dalam Planetarium mendadak riuh
tatkala menjadi gelap kemudian dipenuhi milyaran bintang-bintang. Ratusan
pengunjung di dalam ruangan itu merasa sedang menjelajahi angkasa, suara tepuk
tangan mengiringi saat langit-langit planetarium menunjukan berbagai macam rasi
bintang; Orion, Gemini, Pisces, Hydra dsb. Saya memahami bahwa bintang-bintang
di Planetarium itu bukanlah angkasa yang sejatinya. Langit-langit kubah
ditembak dengan proyektor yang terletak di tengah ruangan. Simulasi itu membawa
ketakjuban, untuk sejenak semua pengunjung sungguh-sungguh merasa tengah menari
di alam raya.
Pada kenyataannya, malam yang cerah bertabur bintang
telah berada di atas kita selama ini. Malam hari itu saya melintasi jalanan,
tetapi tidak ada langit berbintang di atas saya, hanya jalan layang yang menudungi
perjalanan. Hati saya teriris, polusi udara, juga polusi cahaya telah merenggut
langit berbintang dari pengalaman kita. Kenangan saya melihat pagelaran besar
langit berbintang semacam di Planetarium hanya terjadi setahun sekali secara
nyata. Semenjak kanak-kanak, pada malam hari raya Nyepi saya akan tertidur di
halaman rumah, menatap ke angkasa. Tidak ada cahaya apapun kecuali pancaran
bintang-bintang yang bergumul di dalam Bima Sakti. Bali begitu senyap hingga
saya merasa detak jantung ini berdegup bersama dengan gerakan Bima Sakti.
Melalui teknologi pula rahasia kemegahan alam raya ini
tersibak. Menggunakan teleskop Hubble yang terletak di luar angkasa, kita dapat
meneropong kehidupan bintang terjauh bernama Icarus yang berjarak miliaran
tahun cahaya. Teknologi dapat mengungkapkan betap luasnya antariksa,
mendekatkan kita pada ketakberhinggaan itu. Saat ini pembentukan alat-alat
teknologis masih dimanfaatkan demi keuntungan cepat ekonomis. Sehingga membuat
keberadaan alat-alat ini terus beradu dengan yang tersisa dari alam liar kita.
Gairah dari keberadaan teknologi masih demi kepentingan
dominasi untuk menundukkan alam, juga sebagai alat subjugasi sesama manusia[12]. Tujuan yang sangat sempit nan picik,
untuk melanggengkan kelas-kelas dalam masyarakat, juga memeras sumber daya yang
berada pada alam. Teknologi tidak dimiliki serta dioperasikan secara
demokratis, ia menjadi alat kekuasaan, berwujud sebagai bahasa, senjata juga
mesin[13]. Dalam pengertian ini, teknologi
berfungsi deterministik dalam sistem yang mengatur pola pikir hingga budaya
manusia, ia bukan semata-mata perkakas yang bersifat netral.
Lantas, apakah yang dapat mengubah orientasi teknologi
yang sekarang ada. Menimbang krisis lingkungan hidup yang mendera bumi ini,
panggilan perubahan itu kini menjadi sirene yang nyaring. Perubahan menjadi
suatu keharusan sebab saat ini kita tengah berpacu melawan kepunahan. Bencana
iklim yang akan semakin memburuk mendorong kita untuk menggunakan sains dan
teknologi secara bijaksana[14]. Unifikasi suara para ilmuwan dalam
laporan IPCC (Intergovernmental Panels on Climate Change)[15] menunjukan bagaimana katastrof
pemanasan yang terjadi dikarenakan karbon yang diproduki manusia. Mereka
menegaskan bahwa kenaikan suhu bumi sebanyak 1.5’C akan berakibat pada
kebencanaan iklim yang saat ini pun mulai kita rasakan. Jika melebihi 1.5’C
kita akan kehilangan spesies-spesies seperti terumbu karang dan serangga yang
krusial untuk proses penyerbukan.
Melampaui 1.5’C, 90 % dari terumbu karang akan menghilang
dikarenakan pemanasan air laut yang menyebabkan asidifikasi.
Kepunahan terumbu karang akan berdampak domino terhadap kehidupan
laut, sebab terumbu karang adalah penyangga ekosistem laut yakni sebagai
habitat makhluk laut lainnya. Perubahan revolusioner perlu dilakukan jika kita
ingin menyelamatkan bumi beserta kemanusiaan kita.
Perubahan yang radikal itu hanya dimungkingkan jika ada
perombakan dalam perspektif teknologis manusia. Pola ekonomi warisan era
industrialisasi harus diubah jika kita ingin menekan jejak karbon. Kegiatan
ekstrasi yang menyebabkan musnahnya alam liar harus dihentikan, manusia tidak
dapat lagi bersandar pada bahan bakar fosil[16]. Sistem konsumsi kita pun harus diubah,
pengadaan pangan melalui pola monokultur tidak dapat lagi dipertahankan. Begitu
juga keberadaan kota-kota beserta pembangunan infrastruktur, transportasi
maupun manufaktur, harus mengalami pembongkaran.
Revolusi ekologis ini hanya dapat dilakukan disokong
dengan teknologi yang optimal dan bertanggung jawab. Pada bidang energi
misalnya, eksplorasi energi terbarukan yang memanfaatkan air, angin dan tenaga
surya, tidak saja ramah terhadap lingkungan hidup, tetapi akan berdampak pula
pada struktur masyarakat. Relasi ekonomi, sosial dan politik yang pada awalnya
berfungsi hierarkis, sarat akan arogansi dan dominasi–manusia terhadap alam
kemudian manusia terhadap manusia yang lainnya, dapat dipatahkan dengan
kehadiran teknologi yang memperluas demokratisasi.
Optimisme harus mengiringi era baru sosial ekologis,
harapan terhadap humanisme yang tidak terpisahkan dari alam harus dirintis
sedini mungkin. Sains dan teknologi memang tidak terpisahkan dari upaya untuk
membangun politik ekologi yang tidak sekadar jargon, serta impian para utopis[17]. Fakta-fakta mengenai kehancuran
ekologis semestinya menempatkan energi keilmiahan menjadi sedemikian genting.
Carl Sagan menyampaikan dalam karyanya Cosmos, bahwa melalui sains dan
teknologi kita dapat mengungkap pengetahuan mengenai jagat raya ini, tetapi
kita harus menyadari bahwa rumah dan tempat bermukim kita adalah di bumi[18]. Kita memiliki kekuasaan untuk menjaga
Bumi dengan segenap kemampuan saintifik dan teknologis.
Kita harus menyongsong semangat zaman yang baru, yang
meninggalkan kecenderungan manusia yang selalu destruktif terhadap alam. Jika
ia mampu merobohkan, maka kita harus dapat membayangkan bahwa manusia juga
sanggup merekonstruksi[19]. Mempelajari kekurangan serta
keterlambatan nalarnya lalu menggunakan segenap intelektualitasnya untuk
menebus kesalahan-kesalahan itu. Kecerdasan manusia selama kurang dari 200
tahun membuktikan bahwa ia berdaya menciptakan terobosan-terobosan teknologis,
kini yang dibutuhkan adalah komitmen untuk mengarahkan penghayatan ilmu
pengetahuan tersebut demi kepentingan yang lebih besar, yakni untuk menjaga
planet kita.
Hadirin yang baik,
Perempuan sedang bergerak di seluruh penjuru bumi, mereka
berada di depan, memimpin suatu revolusi ekologis. Pesan mereka adalah keadilan
ekologis, dunia yang tidak lagi dikendalikan dengan sistem yang diskriminatif,
yang menceraikan manusia dari alamnya. Ekofeminisme bekerja secara serempak,
pada tataran pengetahuan, juga menjejakkan basisnya pada gerakan sosial.
Ekofeminisme adalah kritik yang lantang terhadap bagaimana pengetahuan selama
ini dibangun dengan niat untuk menjadikan alam sebagai yang inferior.
Kebudayaan kita menempatkan manusia sebagai penguasa yang berjaya di atas alam.
Kedudukan ini dikukuhkan oleh keunggulan akal budi manusia. Ekofeminisme hadir
untuk mempersoalkan itu semua, segala asumsi-asumsi yang umat manusia terima
tanpa sebersit rasa curiga maupun bersalah.
Ekofeminisme menuding bahwa kebudayaan yang berjarak
dengan alam adalah bentuk pengelabuan. Mereka yang mengelabui publik memotong
keindahan alam dan mengemasnya menjadi produk-produk untuk dijual. Segala darah
dan daging satwa diperjualbelikan, atas nama industri, laut dihina menjadi
tempat pembuangan limbah.
Ekofeminisme sebagai gerakan sosial, melihat cerdik
menembus segala kiat pengelabuan itu. Para perempuan-perempuan itu pun
menyimpulkan bahwa saat pengetahuan dibangun oleh para patriark, mereka
mendominasi alam sebagai objek yang harus ditundukan, bersamaan dengan itu,
mereka pun memasung perempuan. Solidaritas perempuan kepada bumi adalah jeritan
sepenanggungan, bahwa tubuh perempuan bertubi-tubi menjadi sasaran kuasa dan
hegemoni, begitu pula yang terjadi pada tubuh bumi. Kontrol terhadap tubuh
bumi, demi pembangunan, demi pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kapital.
Serupa dengan perempuan yang tubuhnya dikendalikan oleh norma kesantunan,
dikriminalisasi tindak-tanduknya, dibatasi kebebasannya. Eksploitasi terhadap
alam dan perempuan bersumber dari gairah untuk mendominasi.
Dalam Ekofeminisme, kebudayaan semestinya tidak
antagonistik dengan alam, sebab manusia dapat berkomunikasi dengan alam dan
membangun diskursus baru[20]. Segala pengetahuan seharusnya dibentuk
dengan pertimbangan terhadap suara alam. Kehidupan dari perspektif para
Ekofeminis, adalah penghayatan kolaboratif antara manusia dengan alam. Vandana
Shiva dalam ceramahnya mengatakan bahwa;
“Threefold Happines (Tri Hita Karana) when you do good
farming, with good seeds, you are of course taking care of the Universal
Law….When you do good farming, you actually work with nature, built up nature.
Only in farming we give back. Every other economic activities, we take from
nature. Only farming we can give back to the soil.”[21]
Vandana Shiva seorang ekofeminis kelahiran India, mengkritik
bagaimana kegiatan pertanian yang pada permulaannya adalah relasi keseimbangan
antara, manusia, alam dan Tuhan, kemudian berubah dikarenakan pola kehidupan
modern yang memperlakukan pangan terbatas sebagai komoditas. Pertanian, atau
agroekologi, menggunakan perspektif ekofeminis Vandana Shiva adalah kerjasama
yang organik, relasi simbiotik yang justru memperkuat alam itu sendiri. Kita
dapat melihat filosofi ini bekerja dalam pertanian di Bali, melalui keberadaan
Subak: sistem irigasi tradisional, juga melalui dilestarikannya benih-benih
lokal.
Shiva menggugat keberadaan korporasi-korporasi yang
menghancurkan tradisi pertanian yang telah berlangsung selama ribuan tahun
lamanya. Kedatangan industri ini merusak tata relasi yang mengaitkan kegiatan
pertanian dengan spiritualitas di India. Bagi Shiva, memperjuangkan benih lokal
adalah bentuk Satyagraha, seruan politis Mahatma Gandhi untuk setia pada
tanah air[22]. Ekofeminisme Shiva menempatkan air,
juga benih sebagai the commons, sumber kehidupan yang dimanfaatkan
secara kolektif dan bertanggung jawab. Problem utama menurut para ekofeminis adalah
bagaimana alam dibajak oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem
monokultur sehingga memusnahkan kekayaan diversitas alam[23]. Selain itu, mereka merampas benih-benih
dari masyarakat kemudian merekayasa secara genetik. Setelah itu benih-benih ini
dipatenkan sebagai milik korporasi.
“Seeds saving is Dharma” ujar Shiva dalam balutan sari
berwarna hijau. Saya memandangnya, dan merasakan bagaimana kecintaan terhadap
benih sejatinya adalah kecintaan terhadap kehidupan. Benih bukanlah benda mati,
asal kehidupan termuat didalamnya. Manusia menanam benih secara baik, bekerja
sama dengan alam untuk merawat ekosistem sawah. Petani membisikan mantra dalam
setiap benih yang ditanam, memberikan persembahan pada kuil-kuil mungil yang
diperuntukan bagi Dewi Bumi.
Namun keberadaan Subak di Bali menjadi semakin rapuh,
meski dengan rekognisi yang telah diberikan oleh UNESCO pada tahun 2012, bahwa
Subak adalah warisan budaya dunia[24]. Subak bagi nenek moyang kita tidak saja
berfungsi sebagai pengasil air dan makanan, melebihi itu, Subak adalah satuan
nilai-nilai yang merekatkan tiga unsur kehidupan, Pawongan (manusia), Palemahan
(alam) dan Parahyangan (Tuhan). Kini nilai-nilai itu berangsur-angsur memudar,
digeser oleh industri pariwisata yang tidak berkelanjutan. Lahan sawah kian
beralih fungsi, data BPS pada tahun 2010 mengatakan kurang lebih 1000 Ha setiap
tahunnya sawah-sawah menghilang.[25]
Terkikisnya sawah-sawah dan pura-pura Subak berarti
terpenggalnya manusia Bali dari akar spiritualitasnya. Menggunakan sudut
pandang ekofeminis kita dapat menguraikan makna-makna simbolik yang begitu erat
antara tanah dengan Dewi Bumi, benih dengan Dewi Sri, juga air dengan Dewi
Danu. Tanah, benih dan air bukanlah objek-objek mati. Mereka adalah
elemen-elemen kosmos yang menggulirkan ritme kehidupan. Subak menyimpul
manusia, alam dan Hyang menjadi satu. Layaknya alur yang gerakannya saling
menjaga dan menguatkan.
Saya menatap dengan hati yang lirih, pura-pura Subak yang
tidak lagi memiliki ekosistem maupun pemujanya. Kematian yang sakral telah
terjadi beriringan dengan menghilangnya alam. Pencemaran terhadap tanah dan air
adalah bengisnya kejahatan manusia terhadap kedermawanan alam. Dalam
ekofeminisme budaya, sosial dan politik harus berporos pada alam. Alam sarat
dengan nilai-nilai yang penting untuk dipelajari. Air misalnya, Pura Ulun Danu
yang terletak di Danau Beratan, dihormati sebagai tempat bersemayamnya Dewi
Danau. Sang Hyang Danu diyakini memberikan anugerah air yang mengalir ke
seluruh sawah-sawah dan pemukiman. Air itu diberikan dengan sepenuh rasa cinta
dan belas kasih.
Air adalah inspirasi untuk menjadi adil. Keberadaan Subak
sebagai sistem irigasi tradisional membuktikan bahwa nenek moyang kita
memikirkan secara matang dan penuh kepekaan, bahwa segala pembangunan harus
mempertimbangkan alam. Air bukan hanya milik manusia, air adalah pemberian alam
kepada setiap makhluk hidup. Air dibagikan secara demokratis, melalui
rapat-rapat subak, di mana seluruh anggota berada dalam posisi setara. Air
digunakan secukupnya, dan selalu untuk kepentingan bersama. Sebelum masa
penanaman bibit, hingga masa panen, tidak putus-putusnya masyarakat petani
menguntai doa terima kasih kepada para dewata.
Para ekofeminis menyusun pengetahuannya berdasarkan suatu
intuisi bahwa alam selalu berbicara pada kita. Menentang bagaimana selama ini
bahasa patriarki meniadakan suara alam juga perempuan[26]. Menyelami alam mendorong kita untuk
membentuk pengetahuan yang mengarah pada keselarasan. Kita juga dapat memahami
etika secara lebih luas, tidak saja empunya manusia, tetapi juga seluruh
makhluk yang berada di bumi. Etika kepedulian adalah pertimbangan etis yang
muncul dari kasih sayang. Rasa kasih sayang ini menerobos tribalisme demi
kelompok sendiri, tetapi kasih sayang yang transendental, terhadap seluruh isi
alam.
Kepedulian dan kepercayaan menjadi pilar-pilar dalam
menciptakan relasi. Alam menjanjikan perbedaan, keragaman yang saling
melengkapi, hal ini sepatutnya mengilhami kita untuk membuka diri terhadap
keanekaragaman perbedaan dan merayakannya sebagai suatu karunia. Segala
ideologi yang mencari peperangan, konflik juga permusuhan menjadi begitu usang.
Ekofeminisme mengupayakan suatu dunia yang tidak lagi sakit dengan kesenjangan,
opresi dan kebencian.
Bapak dan Ibu hadirin sekalian,
Cinta sejati saya adalah Teluk Benoa. Pertemuan kami
pertama kalinya terjadi pada saat saya masih kanak-kanak. Kakek dan Nenek
mengajak saya melakukan Segara Kertih, persembahyangan serta napak tilas
ke pura-pura yang terletak di pesisir Bali. Cinta dari perjumpaan pertama itu
tidak surut oleh waktu. Meski saya berada jauh di kota untuk merampungkan
studi, pikiran dan hati saya selalu bersama dia.
Ketika berita mengenai rencana pemerintah daerah bersama
investor hendak membangun megaproyek pariwisata di perairan Teluk Benoa awal
tahun 2013 itu, saya merasa kalut. Kekalutan itu bercampur baur dengan rasa
kecewa terhadap bagaimana pemerintah semestinya dapat dipercaya oleh
masyarakatnya bukan berbalik menjadi bagian dari permasalahan.
Tetapi polemik di Teluk Benoa membongkar suatu siasat
buruk terkait bagaimana kekuasaan disalahgunakan. Dibalik kegundahan melihat
kekuasaan berupaya merenggut Teluk Benoa, saya menyaksikan suatu titik balik
pada masyarakat Bali. Fajar baru di mana masyarakat tidak lagi lumpuh oleh
cengkraman kekuasaan. Kami menyadari daya yang terletak pada suara kami.
Melewati berbagai aral serta rintangan, Teluk Benoa
dinyatakan oleh Pesamuhan Sabha Pandita sebagai kawasan suci[27]. Komite khusus yang beranggotakan para
pendeta Hindu mengkaji, mendiskusikan serta memutuskan bahwa Teluk Benoa
merupakan kawasan sakral yang harus dipertahankan. Adapun pertimbangan dari
para sulinggih berpegangan pada Bhisama Kesucian Pura, yang tertera dalam Keputusan
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, yang diterbitkan semenjak tahun 1994[28]. Bhisama itu mengatakan bahwa kawasan
suci adalah gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut
diyakini memiliki nilai-nilai kesucian[29].
Kesucian dalam konteks Teluk Benoa dapat dipahami secara
kritis. Alam dipandang sebagai yang sakral, tetapi kesakralan ini datang dari
suatu kesadaran bahwa alam yang seimbang dan lestari akan merawat manusia
menjadi baik. Alam liar disucikan karena pada tempat-tempat itulah manusia
mendapatkan pencerahannya, ia dapat menyadari peran dan tanggung jawabnya
melalui pembelajaran dengan alam.
Karya Kekawin Anyang Nirartha yang digubah oleh Danghyang
Nirartha memberikan ilustrasi yang indah bagaimana alam menjadi sumber
pencerahan. Danghyang Nirartha[30] adalah seorang Pendeta Siwa yang
melakukan perjalanan mengelilingi pulau Bali untuk menetapkan tradisi Hindu
Siwa yang diwariskan hingga saat ini. Anyang Nirartha erat sekali keberadaannya
dengan Teluk Benoa, sebab syair-syair yang dituliskannya merupakan keharuan
serta rasa terpesona Danghyang Nirartha melihat keindahan Teluk Benoa, Nusa
Dua, Pulau Pudut hingga Sakenan[31].
Syair-syairnya begitu erotis menganalogikan lekuk pantai
seperti lipatan kain sang kekasih. Puisi cinta ini merupakan bentuk syair
Tantra, suatu bentuk pemujaan kepada Mahadewa Siwa melalui penjelmaannya Dewa Asmara,
atau Kama[32].
Saya bacakan sepenggal dari syahdunya kekawin itu;
“Dengan cepat ia bergegas pulang pada sore hari manakala
air laut menyurut, berjalan menyusur pantai yang indah itu dan ia pun terpesona
melihat keindahan yang terbentang…”
“Liuk garis pasir pantai yang memukau tampak
bergelung-gelung seperti lipatan-lipatan kainmu”
“Ada belanak terlihat berkilat cahayanya terus berkelebat
mengarah ke air laut yang dalam, tapi si burung bangau bergerak cepat, datang
berdiri menundukan paruh pada riak itu dan berhasil mematuknya”
“Ada perahu kecil terlihat samar-samar di tengah laut
serta layarnya terlihat seperti bunga melati yang semerbak pada
sanggul-terurai, sambaran burung camar yang seakan mencium buih seperti
lengkung alis.”[33]
Saya menjelajahi Teluk Benoa dengan hati yang riang
bersama dengan para sahabat saya yang berasal dari desa Tanjung Benoa. Kami
bermain di Teluk Benoa di kala ia surut, menatap bangau-bangau yang berkumpul
mencari ikan-ikan kecil. Kami terduduk di sisi pantai menunggu matahari
terbenam, kala itu terlintas di benak saya kata-kata Aldo Leopold, seorang
pakar lingkungan hidup, mengenai apakah yang dianggap benar itu? Sesuatu adalah
benar bila hal tersebut menjaga integritas, stabilitas dan keindahan dari
keseluruhan komunitas biotik[34].
Kata-kata itu terwujud dalam Teluk Benoa, ia adalah
kebenaran itu. Ia merupakan manifestasi kecerdasan alam dalam menyangga seluruh
makhluk yang bergantung kepadanya. Karakter Teluk Benoa sebagai wilayah pasang
surut (intertidal) vital untuk dikonservasikan, karena ia merupakan pusat dari
keanekaragaman hayati di wilayah pesisir Selatan Bali[35]. Berbagai spesies flora dan fauna hidup
di dalam Teluk Benoa, seperti; mangrove, terumbu karang, padang lamun, burung,
ikan, penyu, dsb. Teluk Benoa merupakan habitat kritis, khususnya bagi hutan
mangrove yang sebarannya terluas di Bali. Salah satu fungsi penting dari hutan
mangrove di Teluk Benoa adalah wilayah asuh dan tempat berlindungnya
spesies-spesies seperti; ikan, kerang dan udang yang teramat penting bagi
sehatnya rantai makanan di lautan.[36] Segala pembangunan yang kini
terjadi di sepanjang jalan tol atas laut, pelebaran bandara dan pelabuhan
tentunya menimbulkan beban pada ekosistem hutan mangrove yang semakin terancam.
Mata saya memicing ke atas, melihat kepakan Elang Tiram
yang memutari Teluk Benoa melayang dengan sentosa. Saya menyantap aneka rumput
laut, Bulung Boni dan Bulung Sangu yang dicampur dengan parutan kelapa, mereka
tumbuh di Teluk Benoa. Sebagian besar masyarakat yang hidup disekeliling Teluk
Benoa bekerja sebagai penggiat wisata laut, selain itu mereka bekerja sebagai
nelayan tradisional dan petani rumput laut yang menggantungkan kehidupan
ekonominya pada Teluk Benoa. Alangkah tidak adilnya rencana megaproyek
reklamasi Teluk Benoa. Proyek yang akan menimbun 700Ha wilayah perairan
tersebut akan melenyapkan kesepadanan yang ada.
Kampanye menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali adalah
kerja gotong royong antara berbagai lapisan masyarakat.[37] Gerakan masyarakat sipil yang besar
ini telah menjangkau publik global. Dengan pamflet ikonik karya Alit Ambara,
simbol penolakan reklamasi bergema-gema menjadi genta harapan. Kampanye Bali
Tolak Reklamasi adalah bukti kekuatan seni menjangkau raga dan jiwa manusia.
Seni yang bergerak menggugah publik untuk lantang bersuara. Ini tercermin dari
lagu mars Bali Tolak Reklamasi bergaung-gaung dalam derap pawai mereka,
“Bangun Bali, subsidi petani, kita semua makan nasi,
bukannya butuh reklamasi.”
Apa yang sesungguhnya terjadi di Teluk Benoa adalah
pertarungan untuk ruang demokrasi bagi masyarakat[38]. Sudah sewajibnya Teluk Benoa sebagai
ekosistem dijaga bersama demi keberlangsungan. Dalam pengertian ini Teluk Benoa
bukanlah properti, atau sebidang ruang yang diperjualbelikan. Keadilan ekologis
menekankan pada perluasan makna hak yang tidak saja dimiliki manusia, tetapi
lebih radikal lagi, dimiliki oleh lingkungan hidup. Teluk Benoa adalah subjek
yang memiliki hak biotik. Salah satu rencana daripada pihak pengembang untuk
pulau rekayasa hasil reklamasi adalah mengubah fungsi hidrologi Teluk Benoa.
Mereka hendak menghilangkan pasang surut di Teluk Benoa demi kepentingan komersil
semata. Tidakkah Teluk Benoa memiliki hak untuk mempertahankan sifat-sifatnya?
Tidakkah kita memiliki kewajiban untuk selalu menjaga stabilitas dan
keindahannya?
Kita harus mengartikulasikan lebih tajam kosa-kata
politik dan demokrasi dengan cara melibatkan kepentingan untuk melestarikan
komunitas biotik. Politik yang memiliki orientasi terhadap lingkungan hidup
akan membela kebutuhan teluk untuk pasang surut, sebab pasang surut adalah daya
teluk untuk memperkaya air laut segar yang memproduksi fitoplankton[39] dasar makanan pada ekosistem laut
sehingga biodiversitas tetap terjaga. Pasang surut adalah cara Teluk bernafas,
nafas itu semakin tersenggal-senggal dihimpit dengan pembangunan. Publik harus
menggunakan kehendak politiknya, mengawasi dan mendorong pemerintah untuk
menciptakan kebijakan-kebijakan yang bermotif ekologis agar nafas teluk
senantiasa lestari.
Hadirin yang terkasih,
Dari pesisir Bali Selatan, saya ingin mengajak anda semua
ke wilayah Timur yakni menuju Gunung Agung[40]. Tersembunyi di dalam lebatnya ayunan
bambu, Dusun Geriana Kauh terletak di kaki Gunung Agung, tepatnya 8 km dari
kawah gunung. Desa itu dikelilingi sawah-sawah, juga nyiur yang melambai
berwarna hijau keemasan. Banjar Geriana Kauh di Kabupaten Karangasem terdiri
atas 177 kepala keluarga, yang hampir keseluruhannya bekerja sebagai petani.
Pada bulan oktober ini mereka menjalankan serangkaian ritual terkait dengan
pemujaan pada Dewi Bumi.
Persembahan yang dipersiapkan oleh warga diletakkan di
dalam pura Pusah. Persembahan yang disebut sebagai salaran, terdiri
atas Panca Pala. Panca Palaatau lima jenis hasil bumi terdiri
dari Pala Mula tumbuhan seperti tebu dan bambu, Pala
Gantung hasil bumi yang dipetik seperti durian dan nangka, Pala
Bungkah atau umbi-umbian, Palawija seperti jagung dan padi lalu
yang terakhir Pala Medonberbagai dedaunan seperti sirih. Pemberian alam
ini ditata sedemikian rupa, digantung ke dalam pikulan yang terbuat dari bambu.
Ikatan-ikatan padi menjuntai , begitu pula wangi buah nangka dan durian yang
diyakini membuat Dewa Brahmadan Wisnu tersenyum.
Tempat ini bagi saya adalah relung suaka, dari
keputusasaan betapa banalnya manusia melakukan perusakan terhadap lingkungan.
Krama (masyarakat adat) Geriana Kauh mengajarkan saya bahwa kita harus memiliki
Sraddha (kepercayaan) bahwa perubahan dimulai dari ketulusan hati serta tekad.
Masyarakat Geriana Kauh pernah mengalami masa-masa terberat kegagalan panen.
Lahan menjadi begitu tandus dikarenakan peralihan sistem pertanian pada masa
Revolusi Hijau. Dusun mereka terpuruk, tanah telah menjadi sakit. Tanah
dipaksakan untuk terus memproduksi menggunakan pupuk kimia dan pestisida.
Makhluk-makhluk sawah menghilang, tidak ada lagi belut dan biawak.
Warga desa menyelenggarakan rembug untuk memecahkan
persoalan perihal sekaratnya dusun mereka. Mereka memutuskan untuk
membangkitkan kembali tarian Sang Hyang Dedari[41] yang berpuluh-puluh tahun telah
dilupakan. Tari Sang Hyang Dedari adalah tari Pra-Hindu yang diyakini
sebagai tarian sakral yang dapat mengusir musibah.
Tari ini melibatkan anak-anak yang diagungkan oleh warga
sebagai penjelmaan para bidadari. Seiringan dengan dibangkitkan tari Sang
Hyang Dedari, masyarakat dusun Geriana Kauh memulihkan kembali tradisi
pertanian yang berkelanjutan. Dibutuhkan 10 tahun untuk dapat mencapai titik
ekuilibrium. Menyembuhkan tanah supaya menjadi kembali gembur, juga
melestarikan benih padi warisan nenek moyang mereka, yakni Padi Masa.
Memang terdengar seperti dongeng, tetapi inilah
kenyataan. Cerita-cerita dari pedesaan yang berjaya melawan kerusakan
lingkungan hidup.
Harapan masih ada, jika kita dapat belajar dari jerih
payah mereka. Saya selalu terpukau saat mendengarkan penuturan masyarakat dusun
Geriana Kauh, bagaimana mereka menghidupkan kembali yang Sakral juga
merestorasi keseimbangan lingkungan hidupnya. Pada malam penyelenggaraan
ritual Sang Hyang Dedari yang dilaksanakan sekali dalam setahun dan
terjadi sekitar akhir Maret hingga awal April. Tubuh saya merasakan kegentaran
itu, bersimpuh dibelakang para bidadari yang matanya khusyuk tertutup. Pura
Dalem gelap gulita kecuali asap pedupaan yang mengisi kegelapan itu. Ibu-ibu
juru gending mulai bernyanyi,
“Asep menyan cenana pingundang Dewa, Dewa tuun, tuun
menyawat, penyawate sereg sorogan…”
“Asap kemenyan digunakan untuk mengundang Dewa, Dewa
turunlah, turunlah menjelma, segeralah merasuk ke dalam tubuh.”
Ketika para bidadari turun ke bumi, mereka menari dengan
sukacita. Mereka bermain-main, membagikan bunga-bunga bagi para pemujanya. Pada
akhir ritual mereka memercikan air suci memberkati pikiran, perbuatan dan
perkataan agar kembali dimurnikan.
Kata-kata saya terlampau kecil juga insignifikan untuk
dapat menguraikan pengalaman itu. Namun, melekat di benak saya apa yang
disampaikan oleh Maurice Merleau-Ponty, mengenai tubuhku dan tubuh alam[42]. Peristiwa ritual Sang Hyang
Dedari melalui penghayatan fenomenologis adalah suatu upaya manusia untuk
terhubung kembali dengan alam.
“Alam adalah yang primordial, ia adalah yang tidak
dikonstruksikan, tidak disituasikan; maka karena itulah terdapat gagasan
kekekalan alam, keutuhan alam. Alam adalah objek enigmatis, objek yang sesungguhnya
bukan objek sama sekali; ia tidak terungkap gamblang begitu saja. Ia adalah
tanah itu, bukan hanya yang berada di depan kita, atau di hadapan kita, tetapi
ia yang meliputi kita.”[43]
Merleau-Ponty menjelaskan bahwa alam memiliki dua sisi,
sisi yang nampak (visible) dan sisi yang tak nampak (invisible)[44]. Teori filsafat ini mengingatkan saya
tentang ajaran Sekala dan Niskala di Bali, Sekala sebagai realitas yang muncul
sebagai pengalaman empiris kita, sementara itu Niskala adalah dimensi yang
misterius, tersembunyi, yang tidak mudah dimasuki oleh persepsi kita. Bagi
Merleau-Ponty titik persinggungan antara yang tampak dan tak nampak
dimungkinkan melalui tubuh, ia menyebutnya sebagai Chiasm[45].
Saya membayangkan bahwa tarian Sang Hyang
Dedari adalah upaya tubuh manusia untuk merasakan kekuatan sihir alam yang
sublim itu. Kerinduan manusia untuk menyatukan tubuhhnya bersama gelora simfoni
alam. Seperti yang tertulis dalam Taittirya Upanisad, “—Aham visvam
bhuvanam abhyabhavam. Suvarna jyotih.”[46] Aku adalah keseluruhan buana,
bersinar terang. Saya menafsirkannya sebagai keinginan sang diri untuk melebur
bersama buana.
——————————————————————————————————–
Tibalah kita di akhir permenungan ini. Apakah kesimpulan
dari persembahyangan buana itu? Brhadaranyaka Upanisad[47] mengatakan bahwa pada permulaannya
adalah air sebelum terbentuk suatu keteraturan. Saya terkenang masa mengarungi
Laut Maluku[48]. Hari itu laut bergejolak dengan
dentuman tarian gelombang yang terus membentur kapal. Saya melihat ke cakrawala
dengan tubuh yang terombang-ambing, dan menyadari betapa mungilnya tubuh ini di
tengah megahnya samudera.
Saya dibesarkan dalam keluarga yang taat menjalankan
ibadah keagamaan. Tetapi keluarga saya kerap kewalahan menanggapi celoteh dan
pertanyaan skeptis saya. Hanya ada satu tempat dimana saya selalu disergap
khidmat, yakni saat saya berada di pantai Sanur dan menyelami lautannya. Saat
saya masih kanak-kanak, Nenek saya selalu khawatir melihat saya berenang begitu
cepat ke tengah lautan. Dengan cemas Nenek akan terus meneriakan nama saya dari
sisi pantai. Tetapi Kakek saya, tanpa terlintas rasa takut akan mengatakan,
“Biarkanlah, itu persembahyangannya…”
Izinkan saya menutup pertemuan malam ini dengan sepenggal
puisi saya didalam buku Kekasih Teluk, yang berjudul, Agamaku;
“Agamaku tidak diciptakan tuhan
Atau para dewata
Ia dinyanyikan oleh lumba-lumba
Yang senyumnya mengajarkanku,
Kebebasan.
Agamaku tidak disiarkan para malaikat
Tapi disampaikan melalui pancaran mata anjing-anjing
Mereka menyampaikan,
Alangkah mulia kesetiaan itu,
Meski kau dilukai, dipukuli oleh tangan yang kau cintai.
Keyakinanku tidak bertempat,
Di rumah ibadah buatan manusia
Laut adalah persemayaman yang luhur
Pegunungan adalah kesaktian semesta
Padang lamun adalah ruang suciku.
Agamaku tidak dituliskan
Dalam aksara-aksara pewahyuan
Agamaku tertera didalam guratan batang-batang pepohonan
raksasa.
Ayat-ayat kehidupan terpatri
Didalam kulit mereka.
Agamaku tidak mencari sorga
Sebab, bisikan angin senja adalah firdaus
Gemersik sungai adalah keindahan tertinggi
Aku telah menghidupi sorgaku.”
————————————–Terima kasih dan selamat malam———————
[1] The Sacred Books of The Hindus, Vol.
VIII, The Nyaya Sutras of Gotama, (India: Sudhindrana Vasu, 1913), hlm. 5
[2] Ibid, hlm. 2
[3] Servapalli Radhakrishnan, Indian
Philosophy, Vol. II, (New Delhi: Oxford University Press, 1996), hlm. 222.
[4] Ibid. hlm. 164.
[5] The Vaisheshika Darshana, VI. 1
[6] Lihat The Sacred Book of the Hindus,
The Nyaya Sutras of Gotama, I. 22, Hlm. 7
[7] Servapalli Radhakrishnan,
Upanisad-Upanisad Utama, (Denpasar: Penerbit Paramita, 2008), hlm. 343-354.
[8] Fred B. Eisman, Bali Sekala &
Niskala, (Hongkong: Jr, Tuttle Publishing, 1990), hlm. 3
[9] Saya sangat terbantu dalam menulis
mengenai Filsafat Teknologi melalui diskusi-diskusi dengan Bapak Tommy F. Awuy,
yang juga mengampu bersama saya kelas Filsafat Teknologi di Filsafat UI.
Pembahasan mengenai tantangan ilmu pengetahuan pada masa kontemporer tertulis
apik dalam buku Tommy F. Awuy yang berjudul Problem Filsafat Modern dan
Dekonstruksi, (Depok: Lembaga Studi Filsafat, 1993), Hlm. 63
[10] Martin Heidegger, The Question
Concerning Technology, dalam buku Basic Writings, (London: Routledge, 2011)
[11] Jacques Ellul, The Technological
Society, (New York: Vintage Books, 1964)
[12] Theodor W. Adorno & Max
Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, (California: Stanford University Press,
2002), Hlm. 2 & 29
[13] Ibid.
[14] Andrew Feenberg, Questioning
Technology, (New York: Routledge, 2001), Hlm. 48
[16] Fred Magdoff dan John Bellamy Foster,
Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, (Tangerang: Marjin Kiri, 2018), Hlm. 144-153
[17] Bruno Latour, Politics of Nature,
(Massachusetts: Harvard University Press, 2004).
[18] Carl Sagan, Cosmos, (New York:
Ballantine, 2013), Hlm. 106-107
[19] Murray Bookchin op.cit Hlm.
19
[20] (Ed) Dewi Candraningrum, Ekofeminisme
II Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), Hlm. 7
[21] Ceramah Vandana Shiva di Museum Neka
Art, dalam Seminar “Our Seeds Our Future” Bali, 22 Agustus 2014.
[22] Ibid.
[23] Vandana Shiva, Biopiracy, The Plunder
of Nature and Knowledge, (California: North Atlantic Books, 2016)
[24] Wayan Windia, Penguatan Budaya Subak
Melalui Pemberdayaan Petani. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies),
[S.l.], v. 3, n. 2, oct. 2013. ISSN 2580-0698. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/15678>.
Date accessed: 01 nov. 2018.
[25] Ibid. Hlm. 152
[26] (ed) Dewi Candraningrum, Body
Memories, Goddesses of Nusantara, Rings of Fire and Narratives of Myth,(
Jakarta: PPSG UKSW & YJP, 2014), Hlm. 63
[27] Keputusan bersama mengenai Teluk Benoa
sebagai kawasan suci terjadi pada tanggal 9 April 2016. Laporan itu dapat
diakses di laman ini; http://phdi.or.id/uploads/Keputusan_SABHA_PANDITA_tentang_.pdf
[28] Peneliti independen dan pakar lontar,
Sugi Lanus menguraikan hal ini di dalam makalahnya yang telah diseminarkan pada
tanggal 6 November 2015 di Penggak Men Mersi, Denpasar. Paper tersebut
merupakan hasil riset lapangan beranggotakan juga tim mahasiswa relawan
ForBALI. Turut menjadi narasumber adalah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Putu
Wirata Dwikora. Mereka memaparkan ditemukannya 70 titik suci di kawasan Teluk
Benoa.
[29] Keputusan PHDI Pusat, Nomor:
11/Kep/I/phdip/1994 Tentang Bhisama Kesucian Pura, Ketentuan Umum nomor 1.
[30] Danghyang Nirartha (1450-1536 Masehi)
merupakan penasehat Raja Dalem Waturenggong yang menjadi tokoh penting dalam
sejarah Hindu di Bali.
[31] Sugi Lanus menyebutkan situs
perjalanan suci Danghyang Nirartha meliputi kawasan Sakenan, Teluk Benoa
kemudian berakhir di Pura Uluwatu.
[32] I Made Supartha, Tesis: Teks Bhasa
Kakawin Anyang Nirartha, Suntingan Teks Dan Terjemahan Disertai Kajian
Unsur-Unsur Puitik, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), hlm. 291
[33] ibid. Hlm. 170
[34] Aldo Leopold, The Sand County Almanac,
(New York Oxford: University Press, 1987), Hlm. 224-225.
[35] (Tim) Penulis: Ketut Sudiarta, I Gede
Hendrawan, Ketut Sarjana Putra, I Made Iwan Dewantama, Laporan Kajian Modeling
Dampak Perubahan Fungsi Teluk Benoa Untuk Sistem Pendukung Keputusan Dalam
Jejaring KKP Bali, oleh Conservation International Indonesia.
[36] Ibid. Hlm. 17
[37] Perjuangan mempertahankan Teluk Benoa
merupakan kerjasama berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam ForBALI
(Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi). Berdampingan dengan ForBALI adalah
Pasubayan Desa Adat, yang terdiri dari 39 Desa Adat di seluruh Bali yang telah
mendeklarasikan penolakan terhadap reklamasi. Lihat https://www.forbali.org/en/
[38] M. Hardt & Antonio Negri,
Assembly, (USA: Oxford University Press, 2017), Hlm. 97
[39] Lihat Laporan Akhir Penyusunan Peta
Kepekaan Lingkungan Pesisir dan Laut Teluk Benoa, Bali, oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2015, 5-27
[40] Nyegara Gunung, napak tilas dari
Segara (laut) menuju Gunung (hutan dan gunung).
[41] Tulisan saya mengenai Sang Hyang
Dedari yang bertajuk “Menjemput Sang Bidadari” telah dimuat di National
Geographic Indonesia edisi Juli 2017.
[42] Saras Dewi, Ekofenomenologi, Mengurai
Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri,
2018), Hlm. 89.
[43] Maurice Merleau-Ponty, Nature, Course
Notes From the College de France, (Illinois: Northwestern University Press,
1961), Hlm. 4
[44] Maurice Merleau-Ponty, The Visible and
The Invisible, (USA: Northwestern University Press, 1968).
[45] Ibid. Hlm. 130-155
[46] Servapalli Radhakrishnan, The
Principle Upanisads, (India: Indus, 1953), Hlm. 561
[47] Ibid. Hlm. 151
[48] Saya berkesempatan menjelajahi Maluku
Utara dalam riset bersama Profesor Susanto Zuhdi, dan Dr. Tommy Christomy. Buku
penting yang menginspirasikan saya untuk terus mempelajari samudera adalah buku
“Nasionalisme, Laut dan Sejarah”, (Depok: Komunitas Bambu, 2014) karya Profesor
Susanto Zuhdi.
Sumber: SarasDewi