Allan Akbar - 02 Mei 2013
- Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan untuk semua
kalangan bumiputera. Dia menentang ordonansi sekolah liar.
Taman Siswa di Bandung. Ki Hajar Dewantara (inset). Foto:
Tropenmuseum.
TANGGAL lahir Ki Hajar Dewantara, 2 Mei ditetapkan
sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 316
tanggal 16 Desember 1959. Penetapan tersebut dilandasi oleh jasa-jasanya yang
telah memberikan garis-garis tegas dalam pendidikan nasional, baik konsepsi
maupun praktik.
“Pada tahun 1932 beliau telah berjuang dengan menentang
ordonansi sekolah liar serta berlakunya sistem pajak rumah tangga Taman Siswa
dan menentang diskriminasi tunjangan anak di sekolah pemerintahan dan sekolah
swasta,” tulis AB Lapian dalam Terminologi sejarah, 1945-1950 &
1950-1959.
Ki Hajar mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922
di Yogyakarta karena gelisah akan pendidikan di Hindia Belanda yang
diskriminatif. Hanya anak-anak priyayi yang boleh sekolah. Dia mencoba
mempeluas akses pendidikan bagi semua kalangan. Taman Siswa, dan semua sekolah
partikelir (swasta) yang tidak diakui oleh lembaga resmi pemerintah manapun,
dianggap sekolah liar.
Menurut Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan
Kuasa, sekolah liar biasanya didirikan oleh para anggota idealis dari
inteligensia yang tidak ingin bekerja untuk pemerintah kolonial, dan yang
didirikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan pendidikan yang bergaya
Barat.
Adanya kecenderungan politik di balik aktivitas
lembaga-lembaga pendidikan partikelir (swasta) disadari pemerintah. Pemerintah
yang khawatir melihat perkembangan sekolah-sekolah pribumi tanpa izin, berusaha
menekan laju perkembangannya dengan membuat beberapa peraturan atau ordonansi.
Pada 1923, pemerintah mengeluarkan ordonansi pengawasan
sekolah partikelir. Namun, dalam praktiknya tidak memenuhi harapan pemerintah
dalam menuntaskan masalah sekolah liar. Menanggapi masalah itu, JWF. van der
Muelen, pejabat direktur pendidikan dan agama menganjurkan kepada pemerintah
untuk meninjau kembali ordonansi pengawasan 1923 dengan kemungkinan menambah
satu peraturan baru menyangkut pengawasan terhadap lembaga pendidikan
partikelir.
Usulan tersebut disetujui. Pada 1932 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan peraturan baru: Wildeschoolen Ordonantie (Ordonansi
Sekolah Liar). Dalam ordonansi ini, seseorang atau lembaga yang bermaksud
menyelenggarakan pendidikan harus seizin pemerintah. Pemerintah dapat
mencabut izin apabila terbukti melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.
Bukan hanya bagi sekolah, ordonansi ini juga mengatur
urusan guru. Para pengajar diharuskan untuk membuat laporan kepada penguasa
setempat. Apabila melanggar, maka akan dikenakan hukuman penjara selama delapan
hari atau denda 25 gulden. Mereka juga dapat dikenakan hukuman selama satu
bulan atau denda sebesar 100 gulden apabila yang bersangkutan tetap
melakukan kegiatan mengajar.
Menanggapi ordonansi tersebut, Ki Hajar mengirim telegram
kepada Gubernur Jenderal De Jonge, meminta membatalkan ordonansi tersebut.
Telegram ini kemudian dimuat majalahTimboel, 6 November 1932. Dengan tegas
Taman Siswa mengancam akan melakukan lijdelijk verzet (pembangkangan)
apabila ordonansi itu tidak dicabut.
“Excellentie! Ordonnantie jang disadjikan amat
tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan …” tulis Ki Hajar, “Bolehlah
saja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’berdaja mempoenjai rasa
asali berwadjib menangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega
boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja
dan selama-lamanja…”
Ordonansi sekolah liar tetap diberlakukan. Taman Siswa
membangkang dan terus berkembang pesat ke luar Jawa Tengah.
“Sepuluh tahun
kemudian, meskipun sudah mengeluarkan peraturan Sekolah Liar pada September
1932, gerakan Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan sekira 11.000
murid Jawa,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas.
Sekolah-sekolah liar diminati oleh bumiputera karena
keadaan ekonomi pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an
mengakibatkan pemotongan belanja (subsidi) pemerintah untuk pendidikan.
“Hal
ini membuat biaya pendidikan tinggi, memaksa orang-orang Hindia untuk
bersekolah di sekolah-sekolah liar,” tulis Yudi Latif.
Laporan tahunan pemerintah tahun 1936 mengenai pendidikan
mencatat sebanyak 1.663 sekolah liar yang menerima pendaftaran 114 ribu murid.
Setahun kemudian, laporan tersebut mencatat jumlah keseluruhan 1.961 sekolah
dengan jumlah murid 129.565, sedangkan pada 1941, jumlah murid pribumi yang
menerima pendidikan dalam bahasa Belanda di sekolah liar, yang terletak di
dalam dan di luar Jawa, diperkirakan mencapai jumlah 230 ribu.
Menurut Gouda, Jawa tidak sendiri dalam ekspansi
sembunyi-sembunyi sekolah independen, yang secara sadar berupaya tetap di luar
orbit pengawasan pemerintah. Di Minangkabau Sumatera Barat, berlangsung pula
pertumbuhan lembaga pendidikan yang sama. Walaupun lembaga-lembaga tersebut
secara lebih jelas kaitannya dengan ulama (guru) Islam dibanding di Jawa dan
lebih banyak menghabiskan waktu dalam pengajian Alquran, sekolah-sekolah kaum
muda di sana juga dengan bergairah menanamkan gagasan penalaran
individu (ijtihad) dan semangat pembaruan pada murid mereka.
“Baik sekolah taman siswa maupun sekolah kaum muda merupakan
lembaga yang berkembang pesat,” tulis Gouda, “kedua-duanya berhasil menanamkan
rasa bangga akan budaya asli dalam diri murid-murid mereka."