This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 29 Mei 2017

Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru


Pers mahasiswa menjadi alternatif informasi di tengah hegemoni Orde Baru. Kendati mengalami pergeseran fokus, kritisisme mahasiswa tetap hidup.


Suasana dalam "Diskusi dan Ngopi Bareng Historia: Dari Breidel sampai Hoax, Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto" di Tanamera Coffee Jakarta, Rabu 24 Mei 2017. 
Foto


Pada masa Soeharto berkuasa, pemerintah menerapkan kontrol penuh terhadap pers dan tak jarang represif. Karenanya rezim Soeharto dikenal sebagai rezim pengendali pers. Pemerintahan Orde Baru kerap melakukan pengekangan terhadap lembaga pers profesional. Keadaan itu membuat mahasiswa generasi 1990-an merasakan masa suram demokrasi.

Kelompok mahasiswa idealis saat itu tidak tertarik menjadi wartawan di media yang dikendalikan pemerintah. Karenanya, mereka mimilih untuk membuat media sendiri sebagai alternatif. Mereka menyajikan informasi alternatif yang lebih kritis. Pemberedelan Majalah Tempo dan Monitor pada 1994 adalah momentum menggeliatnya pers mahasiswa yang bergerak secara underground.
“Periode 1994 hingga 1998 itu juga ditandai dengan munculnya pers-pers bawah tanah yang kemudian memberikan informasi alternatif,” kata Ignatius Haryanto ketika berbicara dalam diskusi bertajuk “Dari Breidel Sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”, Rabu (24/5/2017).
Media yang mereka terbitkan kerapkali memacak headline atau artikel yang kritis terhadap pemerintah. Saat itu salah satu wacana yang santer diangkat pers mahasiswa adalah soal posisi militer dalam politik. Tak jarang, pers mahasiswa mengkritisi militerisme Orde Baru melalui kartun-kartun provokatif. 
“Makanya pers mahasiswa itu laris. Dicetak 4000 sampi 5000 eksemplar lalu dijual di lapak-lapak luar kampus. Dan itu laku, bahkan hampir semua peneliti luar yang menelaah Indonesia mengoleksi itu,” ungkap Nezar Patria, anggota Dewan Pers, yang turut menjadi pembicara.
Kritisisme lembaga pers mahasiswa itu membuat mereka juga menjadi sasaran represi rezim Soeharto. Akibatnya media terbitan lembaga pers mahasiswa diputus pembiayaannya oleh pihak perguruan tinggi atas tekanan dari penguasa. 
“Tak habis akal, akhirnya media itu diproduksi dengan difotokopi. Padahal, kalau sekarang kita baca-baca lagi lebih kental propagandanya daripada beritanya,” ujar Nezar Patria.
Karena muatan propaganda itu media terbitan lembaga pers mahasiswa memiliki andil dalam Reformasi 1998. Media itu menjadi pemersatu elemen-elemen mahasiswa selama aksi Reformasi. Mulai dari awal pembentukan gerakan di kampus, aksi-aksi demonstrasi, hingga perkembangan wacana di kalangan aktivis mahasiswa semua dilakukan dengan memanfaatkan media pers mahasiswa.

Kini, seiring perkembangan zaman, pers mahasiswa juga mengalami pergeseran. 
“Soal fokus, kini pers mahasiswa lebih banyak mengangkat isu-isu internal kampus. Mungkin juga kondisi riil sekarang ini tidak membuat mereka merasa perlu turun tangan. Tapi, hal seperti itu sebenarnya kembali kepada mahasiswa sendiri yang menjadi penggerak pers kampus,” ujar Ignatius.

Andina Dwifatma, dosen komunikasi Universitas Atma Jaya, yang ikut menjadi pembicara berpendapat bahwa kritisisme tetap menjadi ciri khas pres mahasiswa. Dia mencontohkan kasus pemberedelan 

Majalah Lentera yang diterbitkan oleh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Majalah itu diberedel lantaran mengangkat soal Tragedi 1965. 
“Jadi, kita tidak bisa menyebut mahasiswa sekarang kurang kritis,” tutur Andina.

Namun, dia menengarai ada usaha-usaha untuk menjauhkan mahasiswa dari kritisisme. Itu dilakukan dengan mengarahkan mahasiswa untuk lebih berorientasi akademis dan menghindari politik. 
“Memang ada pewacanaan bahwa mahasiswa harus netral dan sebaiknya tidak terlibat politik. Kepada mereka ditekankan bahwa tugasnya hanyalah belajar, cepat lulus, dan bekerja,” pungkasnya.

Sumber: Historia 

Sabtu, 27 Mei 2017

Kisah Klasik Catatan Perjalanan Bujangga Manik

Reporter: Irfan Teguh | 27 Mei, 2017
Ilustrasi Bujangga Manik. Tirto.id/Fuad
Kisah perjalanan seorang bangsawan yang memilih jalan sunyi menjadi rahib.

Setidaknya 450 nama tempat muncul dalam kisah Bujangga Manik dan sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.

Kesusastraan klasik kaya dengan bentuk cerita-cerita perjalanan. Salah satu yang termasyhur adalah catatan perjalanan Bujangga Manik.

Salah satu naskah sastra Sunda kuna, bahkan bisa dibilang salah satu naskah yang terpenting, adalah perjalanan Bujangga Manik menyusuri Pulau Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis dalam larik-larik delapan suku kata—bentuk terikat dalam puisi cerita Sunda kuno, yang ditulis di atas daun palem yang tersimpan di perpustakaan Bodleian di Oxford (Inggris) sejak 1627 atau 1629.

Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda yang berkelana ke beberapa tempat suci untuk mencari tempat untuk masa akhir hidupnya. Dalam naskah (baris 663-667) yang tertuang di buku Tiga Pesona Sunda Kuna karya J. Noorduyn (Direktur KITLV yang pensiun pada 1991) dan A. Teeuw (Profesor Emeritus bidang Bahasa dan Sastera Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden) tertulis:
“Nyiar lemah pamasaran/ nyiar tasik panghanyutan/ pigeusaneun aing paéh/ pigeusaneun nunda raga.”
“Mencari tempat untuk pekuburan/ mencari telaga untuk tenggelam/ tempat untuk kematianku/ tempat untuk meninggalkan badan.”
Bujangga Manik melakukan perjalanannya sebanyak dua kali. Yang pertama dari Pakancilan di Pakuan Pajajaran sampai ke Pamalang di Jawa bagian tengah. Ia pulang karena rindu kepada ibunya. Perjalanan kedua dilakukan dari Pakancilan melewati Jawa bagian tengah, Jawa bagian timur, sampai Bali. Lalu kembali ke Jawa bagian barat dan berhenti di Gunung Ratu, tak jauh dari kaki Gunung Patuha, dan tak pernah kembali lagi. Ia wafat di sana.

Dalam Bujangga Manik dan Studi Sunda, A. Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung atau ditulis pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511.

Kenapa Bujangga Manik memilih menjadi rahib dan meninggalkan kehidupan istana? Dalam Suluk Abdul Jalil Volume 4 diterangkan bahwa kondisi Dayeuh Pakuan Pajajaran waktu itu ibarat surga. Kemakmuran dan kemuliaan tersuguh di ibu kota kerajaan Sunda itu. Namun, hal tersebut hanya dinikmati segelintir kalangan saja yang dekat dengan pusat kekuasaan. Sementara mayoritas masyarakat adalah para kawula dengan status budak belian yang setiap saat bisa diperjualbelikan. Hal itulah yang membuat Bujangga Manik memilih berkelana meninggalkan pusat kekuasaan.

Pada perjalanannya yang kedua, ada satu dorongan tambahan yang membuat Bujangga Manik segera meninggalkan ibunya dan kehidupan di lingkungan istana: dia dilamar seorang perempuan cantik dan ibunya menyarankan untuk menerima lamaran tersebut. Seorang kurir yang bernama Jompong Larang disuruh perempuan yang melamar Bujangga Manik untuk menyampaikan maksudnya, sembari membawa sirih-pinang yang ditata di atas baki, ditutup dengan sapu tangan, dan tersusun begitu rapi, dan rupa-rupa pemberian lainnya.

Ibunya berkata pada baris 535-545:

“Anaking, haja lancanan/ karunya ku na tohaan/ sugan sia hamo nyaho/ tohaan geulis warangan/ rampés rua rampés ruah/ teher geulis undahagi/ hapitan karawaléa/ buuk ragi hideung teuleum/ ceta hamo diajaran/ na geulis bawa ngajadi/ na éndah sabot ti pangpang/ hanteu papahianana.”   
“Ananda, layanilah dengan serius/ kasihan terhadap puteri/ barangkali ananda tidak tahu/ puteri cantik pantas diperisteri/ cantik rupa baik perilaku/ bahkan berperawakan indah semampai/ gadis pingitan juga setia/ rambut hitam bagai dicelup/ terampil tanpa harus diajari/ cantik bawaan semenjak lahir/ jelita saat masih dikandung/ tiada yang menandingi.”

Mendengar perkataan ibunya, Bujangga Manik bukannya menurut dan menerima lamaran, ia malah menyuruh untuk mengembalikan semua pemberian perempuan yang melamarnya. Ia menganggap bahwa kata-kata ibunya terlalu berlebihan, terlampau memuji, dan hal itu menurutnya adalah perbuatan terlarang. Pada baris 553-562 Bujangga manik berkata:

“Leumpang bawa pulang deui/ leumpang reujeung si Jompong/ ka dalem ka na tohaan/ seupaheun ta bawa deui/ buah reumbeuy bawa deui/ piburateun pihiaseun/ éta bawa pulang deui/ pikaéneun pisabukeun/ kalawan keris maléla/ leumpang bawa pulang deui.”
“Pergi dan bawalah kembali/ sekalian pulangkanlah bersama si Jompong/ ke istana kepada tuan puteri/ sirih-pinang itu bawa kembali/ berbagai persembahan bawa kembali/ bahan obat-obatan dan bahan perhiasan/ itu semua kembalikan lagi/ bahan pakaian dan bahan selendang/ termasuk keris baja/ bawalah pulang kembali.” 

Setelah itu Bujangga Manik mengungkapkan isi hatinya kepada sang ibu. Ia mengutarakan bahwa apa yang disarankan ibunya untuk menerima lamaran tersebut adalah jalan yang salah, jalan menuju tempat kematian, jalan ke kuburan, dan menyebarkan kejelekan. Ia merasa tak nyaman, dan ibunya dianggap telah tersesat. Kemudian ia pamit untuk yang penghabisan sebelum kembali melakukan perjalanan. Pada baris 642-650 Bujangga Manik berucap:

“Ambuing karah sumanger/ pawekas pajeueung beungeut/ ambu kita deung awaking/ sapoé ayeuna ini/ pajeueung beungeut deung aing/ mau nyorang picarék deui/ mau ma ti na pangimpian/ pajeueung beungeut di bulan/ patempuh awak di angin.”
“Karena itu, bunda selamat tinggal/ untuk yang terakhir bertatap muka/ kita, bunda bersama denganku/ hanya sehari inilah/ bertatap muka denganku/ tak kan pernah berbincang lagi/ kecuali hanya dalam mimpi/ saling tatap muka di bulan/ bersentuh tubuh di angin.” 

Setelah bertahun-tahun menjelajah daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali, Bujangga Manik atau Ameng Layaran kemudian menetapkan tempatnya yang terakhir, tempat untuk berpisahnya raga dan sukma. Pada baris 1396-1407 ia menulis:

“Sadiri aing ti inya/ sacunduk ka Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Caréngcang/ éta huluna Cisokan/ landeuhan bukit Patuha/ heuleut-heuleut Lingga Payung/ nu awas ka Kreti Haji/ Momogana teka waya/ neumu lemah kabuyutan/ na lemah ngalingga manik/ teherna dek sri mangliput/ ser manggung ngalingga payung.”
"Sepergiku dari sana/ sampai ke Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Carengcang/ itulah hulu sungai Cisokan/ di kaki Gunung Patuha/ batas antara Lingga Payung/ yang bisa memandang jelas ke Kreti Haji/ berharap semoga terbukti menemukan tanah yang suci/ tempat yang menyerupai tiang permata/ lalu akan kutudungi/ mengembang ke atas bagaikan payung bertiang.”

Lalu ia mendeskripsikan kematiannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan pelbagai pertanyaan terhadap naskah ini yang dinilai banyak mengandung masalah kepengarangan. Di luar hal tersebut, berikut bunyi tentang kematian itu pada baris 1443-1452:

“Pati aing hanteu gering/ hilang tanpa sangkan lara/ mecat sakéng kamoksahan/ diri na aci wisésa/ mangkat na sarira ageung/ ngaloglog anggeus nu poroc/ atma mecat ti pasambung/ aci mecat ti na atma/ pahi masah kaleumpangan.”
"Kematianku tanpa sakit/ meninggal bukan karena derita/ melesat menuju kebebasan/ kepergian sang sukma/ keluar dari raga kasar/ copot sesudah yang terakhir/ sukma lepas dari ikatan/ ruh lepas dari sukma/ sama-sama lepas dan pergi.”



Yang menonjol dari naskah ini adalah banyaknya nama tempat yang disebutkan selama perjalanan. J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno terjemahan Iskandar Wassid, menemukan sedikitnya 450 nama tempat, dan sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa. Ia pun kemudian membuat peta topografi Pulau Jawa berdasarkan naskah tersebut.

“Pemaparan ini terutama ditekankan pada penyebutan nama-nama tempat, daerah, sungai, dan gunung yang terletak pada rute atau dekat rute yang disusuri,” tulis J. Noorduyn.
Selain itu, Hawe Setiawan dalam Bujangga Manik dan Studi Sunda memaparkan bahwa naskah ini mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis.
“Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan,” lanjut Hawe.
Namun demikian, naskah ini bukan berarti tanpa kekurangan. Hawe Setiawan mencatat setidaknya ada empat poin kekurangan dari kisah perjalanan Bujangga Manik tersebut: “(1) Masalah kepengarangan: apakah tokoh yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran adalah penggubah naskah ini ataukah semata-mata tokoh cerita? (2) Masalah representasi: apakah kisah dan deskripsi yang terdapat dalam naskah ini merupakan representasi pengalaman ataukah semata-mata merupakan hasil imajinasi? (3) Masalah sudut pandang: mengapa dalam naskah ini berkali-kali terjadi semacam pertukaran sudut pandang penceritaan, yakni dari sudut pandang orang pertama ke sudut pandang orang ketiga dan sebaliknya? (4) Masalah fungsi dan pretensi teks: adakah relasi yang signifikan antara deskripsi latar yang secara topografis sedemikian terperinci dan nilai-nilai spiritualitas yang terkandung dalam naskah ini?” tulis Hawe.

Sementara dalam buku Empat Sastrawan Sunda Lama karya Edi S. Ekadjati, dkk., diterangkan bahwa berdasarkan penelusurannya, sebelum abad ke-17 nama pengarang naskah Sunda hanya dikenal seorang, yaitu bernama Buyut Ini Dawit. Ia seorang pengarang perempuan dari kalangan pertapa di pertapaan Ini Teja Puru di Gunung Kumbang. Karangannya berjudul Sewaka Darma yang ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno dalam bentuk puisi.

“Dalam pada itu, Bujangga Manik menyebut dirinya sebagai penyusun cerita perjalanannya mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali dalam bentuk puisi. Dapat diperkirakan dia adalah seorang laki-laki dari kalangan keraton Sunda di Pakuan Pajajaran yang memilih kegiatan agama sebagai jalan hidupnya. Namun masih dipertanyakan, apakah Bujangga Manik itu nama dirinya atau nama julukan semata?” tulisnya.
Terkait beberapa masalah kepengarangan, Hawe Setiawan kemudian memaparkan bahwa masalah-masalah seperti itu perlu dibahas dengan tetap memperhatikan konteks historis dan sosiologis yang melingkupi naskah, setidaknya uraian mengenai masalah-masalah tersebut dapat mendorong pembaca untuk memperhatikan keadaan zaman dan masyarakat yang melahirkan naskah tersebut.
Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 02 Mei 2017

Pendidikan Tanpa Sekolah ala Agus Salim

Reporter: Iswara N Raditya | 02 Mei, 2017

Haji Agus Salim. FOTO/Istimewa
  • Agus Salim pernah melamar beasiswa kedokteran di Belanda, tapi ditampik dengan alasan Agus inlander
  • Agus Salim menanggap pendidikan kolonial sebagai "jalan berlumpur," maka ia mendidik sendiri anak-anaknya
Agus Salim menganggap pendidikan kolonial adalah “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya tercebur di dalamnya.

Jef Last geleng-geleng kepala usai mendengar pemuda bernama Islam Basari itu sangat lancar lagi fasih berbahasa Inggris. Keheranan jurnalis asal Belanda ini sangat beralasan. Islam tidak pernah mengenyam sekolah formal namun memiliki kecerdasan yang luar biasa. 

Melihat Jef Last terkaget-kaget dengan rasa tidak percaya, ayah Islam berujar: “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”

Si ayah dari bocah bernama Islam ini tidak lain dan tidak bukan adalah Haji Agus Salim, bapak bangsa yang namanya bertebaran di buku-buku sejarah Indonesia itu. Dan memang, Agus Salim tidak pernah memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal. Ia mendidik putra-putrinya sendiri di rumah, metode pengajaran yang kini dikenal dengan istilah homescholling.

Jalan Berlumpur Pendidikan Kolonial

Bukan berarti Agus Salim mengharamkan pendidikan formal, sama sekali tidak. Ia sendiri menapaki jenjang sekolah dari dasar hingga menjadi salah satu orang paling jenius yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. 

Bahkan, Agus Salim pernah meraih prestasi yang sangat jarang mampu dilakukan oleh siswa-siswa sebangsanya, menjadi lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya (Agus Salim, Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat, 2014). 

HBS adalah sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah ini hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda atau Eropa, serta sedikit anak lokal yang orangtuanya terpandang atau punya pangkat.

Sayangnya, titel sebagai lulusan HBS terbaik ternyata tak menjamin dirinya bisa melanjutkan studi ke luar negeri. Ia melamar untuk mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diminatinya (Haji Agus Salim 1884-1954: Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, 2004).

Namun, harapannya kandas karena ia seorang pribumi, bukan sinyo apalagi berdarah Eropa murni. Jawaban dari pihak berwenang yang diperolehnya berbunyi: “Tak ada beasiswa untuk inlander.”

Pengalaman pahit itulah yang barangkali membuat Agus Salim merasakan trauma yang amat sangat dengan sekolah Belanda. Ia menganggap pendidikan kolonial bentukan Belanda sebagai “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut berkubang di dalamnya seperti yang dulu pernah dirasakannya. Selain itu, Agus Salim merasa sanggup mendidik anak-anaknya di rumah.

Dari ke-8 anaknya, hanya si bungsu Mansur Abdurrahman Sidik yang mengenyam sekolah formal. Itu pun lebih karena Mansur dilahirkan setelah era kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Tidak demikian halnya dengan anak-anaknya yang lahir terlebih dulu: Violet Hanisah, Yusuf Taufik, Ahmad Syauket, Theodora Atia, Islam Basari, Siti Asiah, dan Maria Zenibiyang.

Sekolah Rumah Agus Salim

Bukan hal yang aneh jika anak-anak Agus Salim sangat lancar berbahasa Inggris. Bahasa harian di keluarga itu memang bahasa-bahasa asing. Andai saja Jef Last tahu, ia mungkin tak akan terlalu heran melihat Islam Basari cas cis cus dengan bahasa Inggris.

Agus Salim sendiri menguasai selusin bahasa bangsa lain, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, Turki, dan lainnya. Tak hanya sekadar berbicara, ia kerap berpidato bahkan melontarkan guyonan dengan bahasa-bahasa asing itu (Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 2006).

Metode pendidikan yang diterapkan Agus Salim di rumah sangat menyenangkan tapi tetap mendidik. Anak-anaknya sebagai “murid” tak harus duduk di dalam kelas seperti di sekolah formal. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung dibiasakan secara santai, seolah-olah seperti sedang bermain. Sedangkan nilai-nilai budi pekerti, pelajaran sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya diberikan melalui bercerita dan obrolan sehari-hari. 

Agus Salim juga memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya, mengkritik, bahkan membantah jika tak sependapat dengan apa yang ia sampaikan. Tampaknya ia punya cara jitu yang merangsang anak-anaknya untuk tidak hanya menerima pelajaran saja, ia ingin para “muridnya” memiliki daya kritis. Agus Salim sendiri dikenal sebagai sosok vokal dan jago debat berjuluk singa podium.

Pendidikan Tanpa Sekolah ala Agus Salim

Menjadi Cerdas Tak Harus di Kelas

Salah satu kebiasaan menyenangkan sekaligus mencerdaskan yang diterapkan Agus Salim di keluarga adalah membaca. Ia menyediakan buku-buku berbahasa asing. Hasilnya, kecerdasan anak-anak Salim berkembang pesat. Di usia, balita mereka sudah lancar baca-tulis dengan banyak bahasa.

Maka jangan heran jika anak-anak Salim sudah melahap banyak bacaan berbahasa asing di usia yang masih sangat dini. Theodora Atia alias Dolly, misalnya, pada umur 6 tahun sudah menggemari bacaan-bacaan anak remaja, semisal kisah-kisah detektif Nick Carter atau Lord Lister (100 Tahun Haji Agus Salim, 1996).

Yusuf Taufik atau Totok lain lagi. Di usia 10 tahun, ia sudah merampungkan bacaan Mahabarata yang ditulis dalam buku berbahasa Belanda. Tidak hanya membaca, Totok bahkan piawai menjelaskan makna yang terkandung dalam epos kepahlawanan India nan legendaris itu.

Belum lagi apa yang pernah dialami oleh Mohammad Roem. Tokoh pergerakan nasional yang kelak bersama-sama Agus Salim turut menegakkan kedaulatan RI ini dibikin takjub oleh Dolly dan Totok. Dua bocah itu mampu meladeninya saat berdebat tentang pengetahuan yang diajarkan di sekolah tingkat atas. Padahal, usia mereka saat itu masih awal belasan tahun.

Agus Salim memang punya alasan mendasar mengapa ia tidak memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal, juga lantaran ia sendiri memiliki kualitas pengetahuan dan pengajaran yang mumpuni untuk mendidik putra-putrinya di rumah. 

Apa yang pernah dilakukan Agus Salim setidaknya memberi gambaran di luar keumuman di Indonesia: untuk menjadi cerdas tidak harus di dalam kelas. Bersekolah di rumah atau di tempat-tempat lainnya pun bisa, tentu jika dilaksanakan dengan cara dan guru yang tepat. 
Sumber: https://tirto.id/pendidikan-tanpa-sekolah-ala-agus-salim-cnSC