This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 08 Agustus 2012

Membaca Utuy—Selalu Sendiri

Berto Tukan

ilustrasi: Utuy Tatang Sontani (infografis: Tirto)

Cerita Pendek
PUKUL 17.30 kira-kira, saya ke luar dari kosan yang temboknya begitu hitam, buteg, jorok dan kucel. Wajar saja. Sejak pertama kali dicat ketika dibangun enam tahun yang lalu kira-kira, sampai hari ini ia tak pernah lagi dikasih pelembab kulit. Namun, kebutekannya kiranya esok hari—yakni hari ini—niscaya hilang. Pasalnya, ketika seorang tukang yang dipekerjakan Pemilik Kost sedang mengecat kamar di sebelah kamar saya yang kira-kira, menurut pengakuan calon penghuninya, besok malam—yakni nanti malam—akan ditempatinya, saya mengutarakan maksud saya untuk mengecat pula tembok kamar kostan saya pada Pemilik Kost. Ia pun berinisiatif untuk membeli sekaleng lagi cat tembok dan mempekerjakan sang tukang satu hari lagi.
Saya naik busway menuju Matraman dan turun di Halte Matraman dan berjalan menuju Sevel Matraman. Di tempat inilah beberapa bulan lalu seorang lelaki yang tengah dimabuk cinta menulis sebuah puisi yang menurutnya romantis-melankolis:
CINTA ALETHEIA
Jakarta tua dan renta.
Mendung kelabu menebalkan kenanganku padamu;
Chairil pernah bilang, ‘mendung mempercepat kelam.’
Maka, puisi ini pun tercipta.
Pukul 06.04 petang, matahari tiada dan langit,
langit malu-malu di ketiak awan.
Entah kau terbang ke mana, ku lihat sebuah pesawat menembus kelabu.
Aku membayangkan langit terbelah dan engkau jatuh hidup-hidup
dari pesawat yang menebarkan nasib—seperti biarawati dalam Mr.Nobody.
Dan engkau jatuh hidup-hidup di hadapanku; tepat di hadapanku.
Mungkin sedikit lecet di kakimu yang memungkinkanku mengelus tungkaimu.
Atau jalanan di hadapanku memuntahkanmu dari salah satu taksi
yang terjebak macet.
Ini Jakarta dan 711 adalah persinggahan-persinggahan.
Kuharap kita akan sering singgah di ruangwaktu yang sama.
Aku tak hendak menyepakati waktutempat denganmu.
Engkau biarlah selalu adalah cinta monyetku; aku Lennier dan
kau Dellenku dalam Babylon 5.
Mungkin, kau juga boleh menjelma aletheia;
tak tersadari kapan menampakkan diri dan sedetik kemudian
menyembunyikan diri kembali.
Sesungguhnya, aku mencintaimu dengan cara yang sama sekali tak kusukai.

Tanpa nama, tanpa tanggal, tanpa tempat yang jelas, kusaksiskan puisi itu merana dan sia-sia, mati sebelum mampu merangkak di tempatnya dilahirkan.
Jalanan sedikit macet. Menghampiri Sevel Matraman sebenarnya didorong oleh kenyataan bahwa persediaan rokok di kantong menipis dan saya memang kepala batu pada segala nasihat tentang merokok yang dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Namun bukan hanya rokok yang tergenggam, melainkan turut juga sebuah roti, entah berjenis dan berlabel apa karena saya memang gagap dalam hal itu, yang mengingatkan pada peristiwa pencabutan gigi saya oleh seorang dokter perempuan bermuka masam di RS Carolus; terkadang seorang dokter memang menjadi lebih manis di rumah sakit dengan biaya mahal.
‘Saap!’ Keluarlah saya dari Sevel itu. Sesungguhnya tak ada efek bunyi pintu terbuka karena hampir semua Sevel, seperti banyak bangunan lainnya di Jakarta, menggunakan pintu dengan sistem sensor yang mana memungkinkan pemilik Kawan Lama menjadi orang terkaya kesepuluh di negeri Indonesia.
Jika anda pernah ke Sevel Matraman tentu anda tahu bahwa ketika berdiri di depan pintunya dan menghadap ke arah jalan raya maka anda akan menemukan parkiran di sebelah kanan anda dan kursi-kursi payung di samping kiri anda. Di depan anda jembatan penyeberangan TransJakarta beserta haltenya, di belakangnya anda akan melihat menjongkaknya Gedung Perwakilan Sumatra Selatan dan Grand Menteng, tempat biduanita Alga meninggal beberapa tahun lalu, dan kalau tak salah di antara deretan bangunan itu terdapat bangunan atau tempat bekas ‘Goethe’-nya Jerman Timur yang oleh S. Rukiah Kertapati dikatakan berbeda bentuk perjuangan kebudayaannya dengan di Indonesia kala itu karena “…dalam ‘Undang2 tentang Plan Tudjuh Tahun untuk pengembangan ekonomi nasional Republik Demokrasi Djerman dari th. 1959 hingga th.1965’ al. ditetapkan bahwa selama masa itu akan ditanamkan penanaman negara sebesar 690 djuta mark dan dibangunkan 12 rumah kebudajaan dengan kapasitet 9.000 tempat di-pusat2 industri dan 65 rumah kebudajaan dengan kapasitet 30.000 tempat di-kota2 ketjil dan daerah2 pedesaan…” (Harian Rakjat, 3 Juni 1961). Konon menurut Paman saya orang bisa kursus Bahasa Jerman dengan gratis di ‘Goethe’-nya Jerman Timur itu.
Namun, yang menjadi penting untuk cerita ini dari ke semuanya di atas ialah kursi-kursi payung di samping kiri saya. Ketika mata saya arahkan ke sana, semua kursi terisi penuh dan di atas meja-meja ada gelas-gelas kopi a la Sevel dan rerotian serta penganan lainnya. Namun tak ada satu pun orang yang tengah makan, minum, atau cuma sekadar menyalakan geretan. Orang-orang itu memandang saya keheranan, seakan menegor, “ga sopan banget sie ni orang.”
Saya tiba-tiba teringat, ini bulan puasa dan mungkin belum waktunya berbuka. Rokok yang sudah di bibir dan plastic pembungkus roti yang sudah sedikit dirobek beserta geretan hijau di tangan kanan menjelma strawberry di dalam sayur rumpu rampe; ah, sudahlah, anda pasti tak mengerti metafora itu!
Tanpa malu-malu, saya mencopot rokok dari bibir dan memasukannya ke kantong baju, roti yang masih aman dalam bungkusan plastic saya genggam sekenannya, geretan hijau tentu saja masuk dengan manis ke kantong celana sebelah kanan. Lantas saya sedikit membelalakan mata sambil sok-sokan berucap tanpa kata terlontar, ’astafiruloh’. Yah, begitulah sikap kebernasiban minoritas ‘geblek’ terpelajar di negara berkembang nan majemuk dengan pluralimse dan toleransi bertebaran hampir di semua bibir mass media. Sungguh berbeda dengan seorang lelaki tanggung asal Batak pengemudi mikrolet 35 Senen-Kampung Melayu yang dengan seenaknya menyulut sebatang Dji Sam Soe dan menenggak Mizone ketika penumpang sedang penuh-penuhnya pada pukul 12 siang hari yang sama.
Kita sampai di akir halaman A4 keempat dengan font 12 TNR berspasi double bersamaan dengan tegukan terakhir kopi saya. Itu berarti kita sudah menghabisi setengah dari jatah yang secara diam-diam diberikan mass media pada penulis cerpen. Saya tak mau pengasuh website di mana padanya saya akan mengirimkan cerpen ini akan memotong cerpen ini menjadi dua dan menaikannya secara bertahap. Karena saya sedang ingin menulis cerpen bukan cerbung, maka kejadian itu, jika benar terjadi, rasanya bagaikan boker bersamaan dengan pipis sekaligus di kloset jongkok pada lelaki. Maka, yang akan kita lakukan setelah ini adalah memampatkan cerita.
Malam harinya—tentu saja setelah roti yang saya beli di Sevel tadi sudah habis yakni semalam—saya menemukan kumpulan cerpen Utuy Tatang Sontani bertajuk Menuju Kamar Durhaka.
Keesokan harinya—yakni hari ini—peristiwa pengecatan kamar itu tak menunggu waktu lama untuk terjadi. Ketokan membahana di pintu kamar kostan membangunkan tidur tanpa mimpiku. Itu ternyata adalah Si Tukang yang juga terkadang menyambi sebagai tukang sol sepatu yang sedang berdoa agar rencana membantu bisnis kawannya membuka toko di Tangerang City sehabis Lebaran nanti terlaksana.
‘Ini barang-barang perlu dikeluarin apa gimana ni, Bang?’
‘Ga usah. Diketengahin ajah.’
Ketika memindahkan dan membereskan serakan barang-barang ke bagian tengah kamar itulah saya teringat kembali pada Menuju Kamar Durhaka yang semalam diketemukan di tengah-tengah bau kotoran kucing.
Sebagai tuan kamar yang baik tentu saja saya tidak membiarkan si tukang bekerja sendirian. Saya coba membantunya sebisanya, saya coba berbincang-bincang dengannya yang lebih mudah ketimbang membantunya sebisanya itu. Namun kegiatan mengecat yang memakan waktu hampir enam jam itu tentu tidak bisa hanya diisi dengan ngobrol-ngobrol dan membantu sekenannya. Saya sempat ke luar sebentar mencari makan dan juga berkirim sms. Salah satu sms yang paling menggoda adalah berita tentang telah terdownload secara penuhnya Session 4 Babylon 5 dari seorang kawan. Tapi saya cukup tahu diri untuk tidak membiarkan diri hanyut.
Setelah kenyang, ngobrol-ngobrol membasi, dan tak ada lagi yang bisa kubantu serta tak ada lagi sms yang menghampiri, saya pun mulai membolak-balik Menuju Kamar Durhaka. Tiba saya pada Paku dan Palu. Utuy berkisah tentang seorang tukang sol sepatu yang mengungsi ke desa di zaman revolusi fisik dan mengalami kesulitan lantaran tak ada sesiapa pun di desa yang membutuhkan jasa sol sepatunya.
Tak ada rokok ketika menulis itu sungguh menyiksa, Kawan. Ctrl + S lantas minimize!
Ah, Utuy bertemu dengan tukang sol sepatu yang kurang beruntung dari pada si abang yang tengah ngecat ini; ia masih bisa nyambi ngecat kamar kos dan ditawarkan pula membantu usaha bisnis kawannya. Namun bukan cerpen itu yang mendorong saya menulis cerpen ini.
Di dalam Mengarang, Utuy yang tengah sakit-sakitan ditawari majalah Mutiara untuk menulis tentang pengalamannya dalam hal mengarang. Utuy bahagia karena honor dari tulisan itu bisa digunakannya untuk menebus obat-obatan dari dokter. Namun, dokter menyarankannya untuk tidak bekerja keras demi kesehatannya—dan saran ini diikutinya—sehingga Utuy pun pergi menonton film Double Life di bioskop. Namun justru film itu memberinya inspirasi untuk menulis. Separoh film, ia tak lagi berkonsentrasi. Ia ingin cepat pulang ke rumah dan menulis.
Tiba di rumah, ia langsung menulis. Duduklah ia pada meja kerjanya yang berada di depan tempat tidur di mana istrinya dan anaknya yang berusia 13 bulan sedang tidur. Teguran istrinya yang mengulangi nasihat dokter tak diindahkannya. Utuy berpikir keras tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya yang mengilhami penulisan naskah dramanya, Suling. Utuy mulai menulis. Namun tiba-tiba anaknya menangis. Utuy menulis demikian setelah peristiwa itu:
‘Bawa dia ke luar,’ kataku pada istriku.
Tapi kalau keinginanku itu sudah dilaksanakan istriku, tanganku tak sanggup lagi melanjutkan menulis. Pikiranku menyuruhku untuk membaca apa yang kutulis tadi.
Sekali dibaca tidak kerasa apa-apa. Dua kali dibaca terdapat kesalahan. Sementara itu istriku sudah kembali lagi membawa anak kami yang sudah berhenti menangis dan terus berbaring lagi di tempat tidur
Karena terpikir apa yang kutulis itu tak baik untuk permulaan karangan, kertasnya kulemparkan ke samping.

Hem, dengusku dalam hati. Pelajaran pertama, jangan pernah membaca sebuah tulisan fiksi sendiri yang belum jadi.
Setelah peristiwa itu, Utuy berusaha lagi menulis tapi kali ini ia memulainya dari tengah tulisan. Sedang pusing-pusingnya berpikir tentang kelanjutan dari apa yang tengah ditulisnya, anaknya itu menangis lagi. Utuy murka. Disuruhnya istrinya untuk kembali membawa ke luar anaknya, disertai pula makian pada anak itu dan juga makian pada istrinya. Ketika mereka sudah ke luar, Utuy tetap saja tak menemukan sesuatu yang berarti untuk ditulisnya. Karena ‘puyeng nan sebel’ dengan kemajuan yang tak berarti atas tulisannya dan juga bayangan honor yang bisa saja hilang diterpa angin, Utuy pun beranjak ke luar mencari inspirasi. Ia melihat istrinya sedang meninabobokan anak mereka yang sudah berhenti menangis di bangku di luar rumah. Utuy menuruni tangga, tak mengindahkan keduanya.
Udara dingin, Utuy menggigil. Ia pun beranjak masuk namun sebelumnya mampir dulu ke istri dan anaknya yang juga masih di luar. Istrinya berlinang air mata. Melihat itu, Utuy bertanya padanya:
‘Mengapa air mata itu?’ tanyaku.
‘Rela engkau menyuruh anak baru berumur 13 bulan ke luar rumah di larut malam?’ jawabnya.
‘Larut malam?’ tanyaku.
‘Ya, sekarang sudah jam satu.’
‘Tapi aku tidak menyuruh ke luar.’
‘Tidak menyuruh? Tidak ingat apa yang kau katakana? Itu tandanya engkau belum sehat, tapi engkau mencoba juga mengarang.’
‘Benar juga katanya,’ bisik suara dalam hatiku. Aku jangan mengarang dulu selama diam di rumah sempit! Tapi itu honorarium yang dijanjikan Mutiara bagaimana? Biar saja honorarium untuk ongkos-ongkos obat itu dibiarkan dulu?
Pusing dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kupangku saja anakku, kutatap wajahnya yang tenang dalam buaian mimpi. Serasa-rasa hendak keluar airmataku, mengenang bahwa manusia yang baru berumur 13 bulan dan yang selama ini kukasihi itu barusan kusuruh ke luar rumah.
Tapi tiba-tiba aku tersenyum dan kalau aku menoleh kepada istriku, ia kulihat memandang aku dengan pandangan bertanya, ‘mengapa tersenyum?’
‘Ya,’ kataku gembira, ‘di saat tidak sehat seperti sekarang ini, akan kukarang saja yang enteng, yang mengajak aku tersenyum segar di dalam mengarangnya, biar badan terasa segar. Dan karangan ini sudah ada pula dalam kepalaku.’
‘Ya, yang enteng saja,’ jawab istriku mengiakan.
‘Tentu saja enteng,’ kataku lagi sambil tertawa geli digelikan ingatan terhadap apa yang akan kukarang, ‘sebab yang akan kukarang itu pengalaman barusan.’
‘Barusan?’ tanya istriku.

Dan saya pun mendapatkan pelajaran ke dua; janganlah menulis tentang langit bersih, lautan yang tenang, gelombang yang memecah karang jikalau di depan matamu saat ini adalah gang-gang kecil dengan selokan penuh nyamuk-nyamuk dan engkau tinggal di sebuah kamar pengap dengan tembok yang tak pernah dicat dalam jangka waktu empat tahun.
Ah, cerita tentang cerita Utuy ini akan coba kuketik ulang dan kusebarkan ke pada orang-orang. Sungguh menarik dan memang, seperti Utuy yang tersenyum geli, kita pun akan geli membacanya.
Kamar sudah selesai dicat. Setelah menunggu selama sejam untuk memastikan bahwa catnya sudah kering semua, saya pun kembali sibuk membereskan barang-barang ke tempatnya semula. Tak terpikirkan lagi niat baik untuk membagikan cerpen Utuy yang bagus ini pada orang lain. Setelah selesai dengan barang-barang ringan lainnya, tibalah pada meja komputer dan komputer. Berbeda dengan barang yang lain, untuk meja komputer dan komputer, saya merubah tata letaknya agar lebih banyak ruang kosong tersedia.
Benar saja. Setelah selesai merubahnya, kamar itu terlihat lebih lapang. Apalagi dengan dinding yang baru saja dicat sehingga putihnya bagai ‘sesuatu banget’, kamar saya terasa lebih asri dari sebelumnya. Saya pun menyalakan komputer, memencet Jet Audio Player untuk menambah semarak suasana kamar dengan musik,membuat kopi dan duduk di depan komputer. Ah, faktor letak dan suasana ruangan rupanya meremajakan umur komputerku. Dengan rokok tinggal sebatang, saya memandangnya dengan bahagia.
Tiba-tiba saya teringat pada cerpen Utuy tadi. Apa salahnya mengetik ulang cerpen itu dan mempublikasikannya entah di note-nya facebook atau di blog pribadi? Saya pun mengambil lagi buku Menuju Kamar Durhaka yang sudah saya susun rapih dengan buku-buku yang lain.
Namun mengetik ulang sebuah tulisan delapan halaman—anda harusnya setuju dengan saya—sungguhlah melelahkan dan membosankan. Maka, saya pun membuat cerita versi saya dengan cara atau teknik si Utuy tadi. Dan jadinya, inilah sebuah cerita yang saya sajikan pada anda. Tentu sebagai manusia yang tahu diri, haruslah saya katakana bahwa karya ini jauh dari kata sempurna—satu lagi sifat yang ‘ngehe banget’ sebenarnya.
Oh, ya. Membaca Utuy Tatang Sontani dan Selalu Sendiri memang bisa jadi ada hubungannya. Namun, judul di atas tidak memaksudkan hubungan seperti yang ada dalam kepala anda, kalau pun ada, karena yang dimaksud dengan Selalu Sendiri di sini adalah sebuah tembang dari Ambon yang kebetulan dapat giliran dimainkan oleh aplikasi jet audio tepat ketika saya hendak memulai tulisan ini.
Percayalah! Penjajah musik pop di wilayah Indonesia Timur adalah Ambon dan Manado.***
Rawasari, 1 Agustus 2012
Sumber: Indoprogress.Com 

Selasa, 06 Maret 2012

Sitor Situmorang, Sang Penyair Soekarnois

6 MARET 2012 | 14:22 | Hiski Darmayana*




Semangat dan konsisten dalam mempertahankan idealisme hingga usia senja. Begitulah kiranya sifat dan semangat juang dari putra Batak ini bila dideskripsikan. Ia adalah Sitor Situmorang, seorang penyair dan sastrawan yang telah melahirkan ratusan karya berbentuk puisi, sajak dan cerpen.
Beliau lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 di Harianboho,Sumatera Utara. Ia dibesarkan hingga usia remaja dalam sebuah masyarakat dengan kultur Batak yang amat kental.
Minatnya terhadap dunia sastra berawal saat Sitor membaca buku Max Havelaar karya Multatuli. Ketika itu ia seorang remaja. Berbekal pemahaman bahasa Belanda yang cukup baik, ia pun menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari buku tersebut ke dalam bahasa Batak.
Melalu karya Multatuli ini pula kesadaran kebangsaan dan sikap anti imperialis makin meruncing dalam jiwa Sitor. Sitor sendiri merupakan anak dari Ompu Babiat Situmorang, salah satu pejuang anti kolonial Batak saat berkobarnya perang antara Sisingamangaraja XII dengan Belanda.
Soekarnois dan Tiongkok
Sebagai seorang penyair, Sitor sering digolongkan sebagai penyair atau punjangga angkatan 45, bersama dengan Chairil Anwar dan Sanusi Pane. Menurut Sitor, penyair angkatan 45 diilhami oleh semangat memberontak demi kemerdekaan.
Memasuki dekade 1950-an, Sitor banyak menciptakan karya puisi yang fenomenal, seperti yang terangkum dalam kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954) dan Dalam Sajak (1955). Banyak pihak menganggap karya-karya Sitor banyak yang bernuansa nature dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari hal ini, Sitor berucap : “Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun..”.
Karya-karya sastra Sitor lainnya yang juga diterbitkan di tahun 1950-an, antara lain Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954) dan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Selain bergelut dalam dunia sastra, Sitor juga meniti karir sebagai wartawan. Ia pernah menjadi pewarta berita di berbagai media, seperti Harian Suara Nasional, Waspada dan Warta Dunia.
Keterlibatannya dalam dunia politik diawali ketika Sitor bergabung dalam Partai Nasional Indoenesia (PNI) dan kemudian diberi amanat untuk menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) di akhir dekade 1950-an . LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PNI. Sejak saat itulah Sitor terlibat secara total dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa Demokrasi Terpimpin, ia bersama LKN yang dipimpinnnya menjadi pendukung setia kebijakan Presiden Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sikap politik yang ia ambil berpengaruh pula pada beberapa karyanya yang terbit di tahun 1960-an. Contohnya, puisi “Zaman Baru” yang ia ciptakan di tahun 1962. Puisi tersebut diciptakannya setelah ia bersama tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Rivai Apin, berkunjung ke Tiongkok. Sitor mengungkapkan kekaguman dan dukungannya bagi revolusi rakyat Tiongkok melalui “Zaman Baru”.
Dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo pasca reformasi, Sitor mengemukakan alasan dukungannya terhadap Tiongkok ketika itu:
“Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita.”
Perihal sikap politik pro Soekarno dan dukungannya terhadap Tiongkok yang ‘komunis’ membuat Sitor dikecam oleh sesama sastrawan dan seniman, terutama yang mengklaim diri sebagai kaum ‘humanis universal’ dan penjunjung kebebasan berkreasi. Namun, Sitor tetap pada pendirian politiknya sebagai pendukung Soekarno dan mengekspresikan sikap tersebut dalam puisi-puisinya. ”Makan Roti Komune”, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau” merupakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam situasi politik nasional yang semakin terpolarisasi menjelang tahun 1965. Sitor pun menerbitkan kumpulan esai politiknya, Sastra Revolusioner, di tahun 1965.
Polarisasi politik yang juga merambah lapangan budaya ketika itu turut pula melibatkan Sitor. Sebagai pimpinan LKN yang mendukung garis kebijakan Soekarno, Sitor bersama dengan kawan-kawannya di Lekra berpolemik dengan kaum sastrawan dan seniman ‘bebas’ yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sitor dan kawan-kawan menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis yang bertopengkan kebudayaan.
“Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika,” demikian penjelasan Sitor mengenai latar belakang konflik 1965 dan siapa sesungguhnya kelompok Manikebu itu.
Konsistensi Di Dalam Bui
Polemik antara LKN-Lekra dan Manikebu berujung pada pelarangan Manikebu oleh Soekarno di tahun 1964. Sitor berpendapat hal itu lebih dilatarbelakangi oleh konflik politik yang kian memanas pada masa itu dan bukan sekedar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu. Hal ini diperkuat dengan adanya dukungan politik kelompok Angkatan Darat (AD) terhadap Manikebu.
“Saya menyayangkan peristiwa (pelarangan Manikebu) tersebut. Tapi waktu itu saya dalam situasi politik, suara saya adalah polemik politik. Saya memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional dan anti-Manikebu. Dan bagi saya, sampai sekarang, penandatangan manifes itu isinya hanya “bunga-bunga” saja. Tapi intinya adalah perbuatan politik murni,” kata Sitor.
Klimaks konflik politik era Demokrasi Terpimpin ditandai dengan meletusnya tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965. Situasi pun berubah dengan cepat. Kekuatan Soekarnois dan komunis terpukul oleh kekuatan baru yang diberi label ‘Orde Baru’.
Sitor, yang menjadi bagian dari kelompok pendukung Soekarno, pun turut ‘disasar’ oleh rezim baru pimpinan Soeharto. Ia djebloskan ke penjara Gang Tengah Salemba di tahun 1967 tanpa proses peradilan. Delapan tahun lamanya ia mendekam di penjara. Selama itu pula ia tetap konsisten menjadi seorang Soekarnois tanpa ada maksud secuil pun untuk ‘cari aman’ dengan mengingkari pendiriannya.
Dia juga konsisten dalam berkarya. Selama dalam tahanan, Sitor berhasil menggubah dua karya sastra yang berjudul “Dinding Waktu” dan “Peta Perjalanan”. Pada tahun 1975, Sitor dilepaskan dari bui. Namun ia tetap dikenai status tahanan rumah hingga tahun 1976. Berbagai kesulitan hidup pun dialami oleh Sitor dan keluarga, seperti halnya mantan tahanan politik (tapol) lainnya di era Orde Baru.
Untuk menghindari tekanan politik lebih lanjut dari rezim Soeharto, Sitor memilih menetap di Paris, Perancis. Pada masa itu, negara-negara Eropa seperti Perancis dan belanda memang menjadi tempat tujuan para pelarian atau mantan tapol Indonesia masa Orde Baru, terutama yang terkait dengan peristiwa 1965. Di tahun 1981, Sitor pindah ke Belanda dan menjadi dosen di Universitas Leiden selama sepuluh tahun. Setelah itu, Sitor kembali berpindah-pindah tempat dari Perancis hingga Pakistan.
Sitor kembali ke Indonesia setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998. Dalam berbagai forum dan interview dengan berbagai media di masa reformasi, ia tetap membenarkan sikap politik dan karya-karyanya yang menyokong kebijakan Soekarno pada tahun 1960-an. Sikap yang mengakibatkan dirinya menjadi tapol dan eksil di era Orde Baru. Seperti itulah konsistensi Sitor, sang penyair Soekarnois.
HISKI DARMAYANA, Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang
Sumber: BerdikariOnline