This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 14 November 2009

Tahlil Puisi untuk Mendiang WS. Rendra

Mengenang kepeloporan seniman besar melalui peringatan 100 hari wafatnya WS. Rendra tak harus dengan keramaian. Tahlil puisi dihelat secara sederhana tapi hikmat. Itulah yang dilakukan SRMB dengan melibatkan puluhan orang yang mendirikan keihlasan.
Malam akhir pekan yang diguyur hujan cukup deras tak mengurangi kekhidmatan pembacaan doa tahlil, meski ritual acara ini sempat tertunda hampir satu jam.
Setelah acara dibuka oleh Pitra Suwita dan diantar oleh Pekik Sasinilo, langsung dilanjutkan dengan pembacaan doa tahlil yang dipimpin oleh seorang kiai sepuh Malik Hasyim dari Jagasima.

Pentingnya Mengingat.

Dalam pengantar doanya, mBah Limin, demikian panggilan kiai sepuh ini, mengingatkan pentingnya mengingat pada semua yang telah lewat. Tak lain agar manusia jadi 'eling' dan meneladani kebaikan yang ditinggalkan oleh almarhum. Meski tak banyak menyebut nama, ia yakin, mendiang WS Rendra termasuk golongan pahlawan bagi Indonesia.

Musikalisasi Puisi 'Gerilya'

Di sela parade puisi-puisi karya WS Rendra, yang dibacakan tamu undangan; disajikan musikalisasi puisi 'Gerilya' oleh Sekolah Rakyat MèluBaé. Sajian puisi "Gerilya" karya WS. Rendra yang dikemas dalam komposisi melodius, ritmik dan deklamatis ini; merupakan komposisi musik puisi yang pernah dibawa berkeliling oleh SRMB dalam "ngamen" apresiasi sastra di belasan sekolah formal, pada beberapa tahun lalu. Acara yang pernah dilakukan ini, sesungguhnya, masih dinantikan oleh beberapa sekolah yang ada. Beberapa guru mapel Bahasa dan Sastra pernah mempertanyakan kelanjutannya.
Dalam acara "Tahlil-Puisi" untuk mengenang 100 hari wafatnya WS. Rendra malam itu, juga diparedekan pembacaan puisi-puisi WS. Rendra oleh beberapa orang tamu yang diundang.

Pekik Sat Siswonirmolo, pegiat SRMB membacakan sajak "Surat Cinta". Karya WS. Rendra ini dibacakan dengan nada rendah; sekaligus dimaksudkan untuk membuka parade sajak malam itu. Guru SMP yang "mengepalai" Sekolah mBayar Karep ini begitu syahdu penampilannya malam itu. Setelah ritual do'a dan tahlil, terasa spirit dan "ruh" sang Burung Merak merentang sayap memenuhi ruang pendopo kelurahan. Mistis, seperti tabir jagad Hyang. Meski di luar pendapa, gerimis satu-dua mulai tiba. Suasana kesumarahan namun penuh daya demikian terbangun disela lengking menyayat seruling yang ditiup Toro Mantara, pegiat SRMB lainnya. Kesyahduan yang menghadirkan dan galau hati tersingkir ke arah pergi.

Daryono Cengkim, tegugah juga ikut membawakan puisi "Gugur" karya WS Rendra lainnya. Lajang yang mulai rajin menulis puisi dan beberapa karyanya juga sempat termuat di buku antologi puisi "Kuputarung" terbitan SRMB ini, cukup punya alasan buat memilih sajak "Gugur" malam itu. Rima duka, tapi tak larut ke dalamnya, begitulah cara kelompok ini mengenang kebesaran seorang pujangga. Iringan bunyi gitar yang dipetik Dodottiro seakan mengikat suara rinai hujan di luaran dan menyatukannya dengan aura sastra di pendapa. Tak sia-sia kedua pegiat ini "mesuh budi" mengolah diri dalam kebersamaan beberapa tahun terakhir ini. Mengenang Rendra dengan mengiringkan do'a tanpa mengeringkan air mata.

Beginilah, pada gilirannya, beberapa tamu undangan terbangunkan juga. Penampilan sebagaimana gambar di sebelah ini adalah tamu dari Sanggar Sastra "Wedang Kendhi", yakni sang monolog Ryan Rahman. Ia memilih karya sang mendiang "Sajak Seonggok Jagung" ke dalam penampilannya.





Sabtu, 10 Oktober 2009

Menggalang Dana Gempa di Depan Pasaraya

Mendadak di hall depan Rita Pasar Raya Kebumen, malam itu meriah oleh pementasan musik. Pemrakarsa perhelatan amal ini adalah KM(C)2, Kebumen Music Corner Community. Pagelaran yang diabdikan untuk tujuan penggalangan dana bantuan korban gempa di Sumatera Barat ini berlangsung sekitar 2 jam. Pengunjung yang akan dan telah berbelanja di salah satu pusat belanja Kebumen ini, banyak yang terkesan dan memberikan sumbangannya.
Ada sejumlah kelompok band yang tampil malam itu, seperti: D.Jas, Rover, Red Apple, Rotasi, Male Rose, Ebiet G. Adud, juga dimeriahkan dengan tampilan Musik-Puisi dari Sekolah Rakyat MeluBae.

Meski sudah dibilang sebagai bentuk sajian yang belum populis di pentas arena, apa yang dibawakan SRMB malam itu relatif bisa diterima khalayak. Penampilannya menyeling di atara 5 group musik lokal. Beberapa komunitas lain juga mendukung usaha kemanusiaan ini. Diantaranya ada Boemi (Kebumen Motor Independent) dan didukung oleh Palang Merah Indonesia Cabang Kebumen.
Penyelenggara pentas amal ini, Edwin Darma Setiawan, memastikan bahwa keseluruhan perolehan dana amal malam itu diserahkan sepenuhnya ke PMI melalui Korps Sukarela.
Dana yang terkumpul selama dua jam itu sebanyak: Rp. 858.900,-
Menurut rencna, usaha kemnusiaan penggalangan dana ini bakal dilanjutkn keesokan harinya, di tempat-tempat berbeda.

Selasa, 18 Agustus 2009

Di Panggung Pitulasan

Manggung di pentas "pitulas-an" merupakan selingan yang cukup menghibur diri, dan mungkin juga orang-orang di sekitarnya. Filosofinya sederhana, bermanfaat bagi lingkungan dimana kita tumbuh, sebelum melanglang di tempat-tempat jauh. Dan dikenal di lingkungan terdekat, di tempat mana kita bertumbuh serta menjadi bagian dalam relasi yang setara; penting pula karenanya.
Dan memang tak ada yang menghakimi bahwa pentas di panggung pitulas-an itu dosa berkesenian. Maka jadilah, malam itu, pentas di panggung pitulas-an..

Kamis, 18 Juni 2009

Membaca Akal Bulus Scapin

Tak enak menonton pementasan teater tapi sedikit telat karena urusan menghangatkan badan, sebab ketika datang, gedung Sumardjito di kampus UnSoed tempat pementasan berlangsung masih tertutup. Selesai dengan urusan kopi, pementasan telah dimulai. Rekaman bisik-bisik dengan oknum dari pihak resmi civitas akademika di FE, didapat tahu bahwa cerita naskah yang bakal dipentaskan malam itu, impor dari imperium Perancis, masa Louis XIV. "Drama klasik !", begitu sorak dalam hati.

Menonton Akal Bulus Scapin, karya Molliere, sebuah ketakjuban baru di Kampus Purwokerto. Sejenak terlupakan sakit badan teman yang jatuh lepas magrib di jalanan. Terseok imajinasi kami diseret ke tengah panggung, mengunyah seting yang sayup beraroma anggur dan sisa gandum di gudang para borju. Namun begitu, seting ini sedikit banyak telah membantu mengecap taste Eropa. Kesayupan ini segera disundut ligthing yang intensitasnya konstan saja sepanjang durasi babak. Di sana tercatat pekerja panggung Margin, bersungguh mewujudkan yang masih sedikit itu. Beberapa properti, seperti gerobak jadi minimalis aspek fungsional ketimbang kelengkapan formal panggungnya.

Karya Molliere di tangan sutradara Bangkit Kurniawan ini masih kembali mengingatkan orang pada Margin tentang cacat sedikit pada tidak maksimalnya eksplorasi dialog. Kesan kesusu, meski tak mengganggu, seperti rentet petasan yang masih juga tersisa asapnya di sana. Padahal, sebenarnya, kendala khas pertama dalam memainkan lakon klasik semacam ini, yakni mengularnya dialog telah diatasi dengan baik oleh masing-masing pemeran.
Mungkinkah ini sebuah kekhawatiran akan durasi pentas yang dapat berekses pada kejenuhan audiens ?

Pembelajaran Akal "Scapin" Molliere

Kegemparan bisa bermula dari ruang yang tak diperhitungkan. Orang yang tidak dimanusiakan dapat menjadi bumerang di ranah humanism. Begitulah Scapin, yang berteman dengan sang idiot untuk lebih dari sekedar membedakan kecerdikan. Ia belajar dari situasi sosial yang termarjinalkan. Inikah alasan teater "Margin" memilih materi pementasan, yang cukup mewakili spirit berteaternya itu.
Scapin adalah perwujudan manusia yang mewakili kelas sosialnya, tetapi ia belajar dengan membaca fakta empiris kesehariannya. Di Latin juga ada pomeo lain, bahwa kaum budak selalu menemukan bahasanya sendiri. Ada pembelajaran di panggung "Margin" malam itu.
Penulis sekaliber Molliere tak keluar dari penjara dan kelas yang berbeda dengan inspirator Revolusi Perancis; Voltaire.

Selasa, 16 Juni 2009

Catatan Festival Drama Sekolah

Lomba Sandiwara Berbahasa Jawa. Demikian tajuk acara yang dilangsungkan di Hotel Candisari selama 2 hari itu. Diselenggarakan dalam rangkaian Pekan Seni Dikpora, 15-16 Juni 2009. Lomba ini diikuti oleh 16 peserta yang mewakili berbagai SMU dan SMK yang ada di Kab. Kebumen.
Beberapa kriteria penilaian ditetapkan panitia dan dalam implementasi penilaiannya dilakukan oleh 3 yuri, masing-masing Turyo Ragil Putra, Pekik Sat Siswonirmolo, dan Syahid.
Adapun hasil penilaian meliputi Pementasan Terbaik, Penyutradaraan dan Tata Artistik.

Festival Drama Pelajar tingkat SLTA se Kab. Kebumen ini diikuti 16 peserta yang mewakili sekolah, dan mementaskan sebuah naskah wajib 'Layung Sore' karya Tentrem Lestari, seorang pendidik di SMU N 1 Mertoyudan, Magelang.
Pementasan Terbaik direbut berurutan, masing-masing oleh: SMU N 1 Kutowinangun, SMU N 1 Kebumen, SMK N 1 Puring, SMK N 2 Kebumen, SMU N 2 Kebumen, SMK Ma'arif 4 Kebumen.

Sedangkan Sutradara Terbaik diraih: Joko Prambasto (SMU N 1 Kutowinangun)
Pemeran Terbaik: Astrid Herera M (SMU N 1 Kutowinangun), Titis Laksanawati (SMU N 1 Kutowinangun) serta Sarifah (SMK Batik Sakti 2 Kebumen)
Penata Artistik: Isman Suwabi (SMU N 1 Kutowinangun)

Keberlanjutan

Setidaknya telah lebih dari 8 tahun, acara semacam ini tak pernah diagendakan. Meskipun begitu, sebenarnya pementasan drama, walau terbatas masih pada lingkup internal sekolah, sesekali masih terselenggarakan. Penyelenggaraan Festival Drama Sekolah dalam rangkaian Pekan Seni Dikpora 2009 ini, memunculkan harapan yang lama terpendam. Minimnya aktivitas berkesenian dan apresiasi seni di kalangan muda terdidik, telah lama jadi keprihatinan.
Seorang pendidik yang tergolong baru, Elok Nur Faiqoh, yang pada event ini terlibat menggarap pementasan drama bagi murid di dua sekolah yang berbeda; berharap acara demikian dapat diagendakan rutin. Harapan ini mewakili keinginan para guru yang concern pada bidang kesenian.
Keberlanjutan menjadi penting artinya, lebih dari sekedar menyelenggarakan acara semacam Pekan Seni. Ia melihat ada peluang penguatan potensi lokal melalui bidang kesenian. Dan jika itu mau dieksplorasi dari kalangan kaum muda di lingkup pendidikan formal bermakna lebih dari sekedar pembinaan mentalitas budaya semata.

Minggu, 14 Juni 2009

Manggung di Gelar Budaya NGO

Minggu, 14 Juni 2009. Atas undangan BRaIn (Bumi Roma Institute), sebuah LSM di Kebumen, SRMB main di panggung terbuka lapangan Desa Seboro, Kec. Karangsambung. Lapangan terbuka yang posisinya persis di depan gerbang Kampus Alam Museum Geologi LIPI Karangsambung, siang itu hingar oleh kerumunan ribuan massa. Acara Gelar Budaya yang diprakarsai BRa-Institute, bekerjasama dengan KPUD Kebumen, dan didukung oleh CepDes serta Elections-MDP itu, merupakan prakarsa kalangan LSM dalam rangka sosialisasi menjelang event Pilpres 8 Juli 2009. Sosialisasi yang dikemas dalam tema "Menjadi Pemilih Cerdas" itu mendapat respons cukup antusias dari kalangan masyarakat Karangsambung dan sekitarnya. Tak ketinggalan pula para penjual jajanan dan aneka mainan anak yang ikut memanfaatkan keramaian itu.
Disamping mementaskan naskah panggung pendek "Go-Den" (Jago Gaden), SRMB juga menampilkan beberapa sajian Musik Puisi Lelaki dan Pembasmi Serangga serta Bumi Pertiwi. Gambaran realita personal yang sepintas remeh akan tetapi berakhir fatal, mengasosiasikan dalam segmen luas dapat menjadi fenomena sosial terburuk. Keputusan personalitas yang buruk ini diangkat menjadi sebuah ironi sosial ke dalam panggung dengan gaya yang ringan tapi ketus. Sehingga mengantarkan nalar orang pada tanya: Kenapa di bumi yang gemah-ripah loh-jinawi, masih harus ada kematian yang nista, kematian yang sia-sia, atau yang dalam batasan secara verbal disebut kelaparan. Ini tersirat, juga secara musikal, dalam puisi Bumi Pertiwi.
Kegelisahan sosial ini masih menjadi nafas panggung Melubae. Namun apa yang disajikan komunitas ini bagi sebagian masyarakat gunung masih kurang populis. Meski begitu, beberapa pengendara sepeda motor menghentikan laju kendaraannya atau malah berbalik dan menyempatkan mencermati tontonan yang relatif baru bagi mereka.
Sampai kemudian disusul pementasan Kuda Kepang dari pedukuhan Geyong, Desa Seboro, Kec. Sadang.

Kesenian rakyat ini memang telah mengakar dalam ingatan kolektif masyarakat. Tak terkecuali bagi Paguyuban Seni Ebeg Banyumasan "Bangkit Budoyo". Kelompok ini mengidentivikasikan dirinya sebagai kelompok seni ebeg "banyumasan" karena jika dicermati, gending-gending pengiringnya memang bergaya Banyumas-an. Ciri gending "banyumasan" lebih rancak dan dinamis. Sejak sepenggalah hari itu, gending-gending dari kelompok ini dikumandangkan untuk menarik perhatian penonton berdatangan.

Pemainnya terdiri dari dua "bregada", sepasukan laki-laki dan sebarisan perempuan yang masing-masing terdiri dari 8 penari.
Konfigurasi barisan memang menjadi ciri khas tarian ebeg atau seni kuda-kepang, dan seringkali dimainkan dalam gerak-gerak kelompok bregada yang simetris.
Dalam konteks berkesenian tradisi, kuda-kepang lebih dikonotasikan sebagai seni-tari kuda lumping. Sedangkan seni ebeg tradisional selalu diasumsikan ada capaian "in-trance" bagi pemainnya.
Jika dicermati lebih jauh ke dalam komunitas seni ebeg ini, hampir selalu dapat dipastikan terdapat jalinan spiritual yang unik. Relasi spiritual yang mempertegas hubungan saling menghargai antara manusia dan alam di sekitarnya. Makanya momentum transendental selalu dianggap sebagai momentum yang penting dalam permainan seni-tradisi ini.

Menonton penampilan kelompok perempuan dalam seni kuda-kepang ini, ada celah lebih potensial untuk mengeksplorasi gerak-gerak olah tubuh. Tema-tema puitik seputar feminisme dan dan kegagahan merupakan dua hal saling menguatkan. Meski dalam penampilan kelompok "Bangkit Budoyo" belum secara maksimal tergarap aspek performa tariannya, dan lagi pemain perempuan memang tidak dimaksudkan untuk "in-trance". Tetapi catatan termenarik dari penampilan penari perempuan ini adalah optimisme, bahwa ternyata pemainnya rata-rata berusia muda. Artinya, penampilan mereka merupakan jawaban kongkret terhadap problem regenerasi seni tradisi.
Makna lain dari semua seni kuda-lumping dengan media kuda atau "jaran" dan dimainkan dalam capaian "in-trance", atau "mendem" atau "mabuk". Yalah bahwa dalam hidup, manusia diwajibkan untuk mabuk pada ajaran tentang kearifan hidup. Manifestasi dari visi menjadi manusia pembelajar!

Rabu, 03 Juni 2009

Kelelahan Kuputarung

Peluncuran Buku Antologi Puisi "Kuputarung" itu pun, pada akhirnya berjalan, seperti hujan di luar Balai, mengalir dari atap dan jatuh ke pelimbangan. Sabtu, 30 Mei 2009, dimulai pada jam 20.15 wib dari Balai Kelurahan Kebumen yang tak seberapa luas, tetapi terang itu menjadi arena launching. Puluhan apresian terkesan bergerombol namun tebarnya merata di dalam balai joglo yang lebih banyak pilar ketimbang jembarnya.
Beberapa kelompok teater hadir sebagai tamu yang terlalu sopan. Ada Sanggar "Ilir" Kebumen, Teater "Gerak" Kebumen, Teater "Margin" Purwokerto. Tak kurang pula, dua dalang Ki Basuki dan Ki Bambang Budiono, Ketua dan Pamong Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kab. Kebumen. Utusan beberapa sekolah, kebanyakan guru bahasa juga hadir setengah formil, dengan surat, yang bikin Panitia geragapan meskipun sebelumnya telah membayangkan. Bahkan juga ada sekelompok Petani dari kawasan "Urut-Sewu" di pesisir Kebumen Selatan. Beserta isteri mereka, anak dan Pemuda dari Paguyuban Parkir Pantai Setro.
Para isteri dan anak-anak pegiat komunitas ini juga ikut berbaur, meski pada akhirnya mereka, anak-anak itu tertidur.

Musik Puisi, alternatif berkesenian.

Tak semua puisi yang berjumlah 37 judul dalam buku antologi puisi "Kuputarung" dapat disajikan. Enam diantaranya memang diolah dalam bentuk sajian musik-puisi, 8 puisi dibacakan oleh ke 4 penulisnya. Tak ada cemooh, terutama saat puisi disajikan dalam bentuk yang berbeda dari pembacaan biasa.
Secara umum, puisi-puisi dalam buku antologi "Kuputarung" ini mungkin biasa saja. Tetapi, ada pesona baru ketika puisi ini dimusikalisasi. Dan bukan sekedar menjadi beda. Ini memberikan semacam peluang akan kemunculan genre berkesenian yang baru.
Puisi terbaik dalam buku antologi "Kuputarung", menurut Irma, seorang aktivis perempuan yang juga hadir di sana, adalah Panggil Aku Tan Moei karya Pitra Suwita. Puisi ini tidak dimusikalisasikan, sementara puisi yang lain juga dapat memunculkan pesona baru saat dimusikalisasi.

-bersambung-

Minggu, 31 Mei 2009

Gelar Musik Puisi "Kuputarung"

Beginilah tata-gelaran panggung Musik Puisi yang diselenggarakan malam itu, yang sekaligus merupakan malam acara launching buku antologi puisi "Kuputarung". Antologi puisi yang memuat 37 karya dari 4 penyair yang bergiat di Sekolah Rakyat MeluBae; 6 dari 9 diantaranya dikemas dalam sajian musik puisi. Acara yang telah dua kali mengalami pengunduran jadual ini, pada akhirnya digelar seiring dengan hujan di luar joglo. Dan hujan di luar itu pun tak ada yang bisa menghentikannya, sebagaimana acara sastra yang terselenggara.


Penampilan DARYONO CENGKIM. Penyair yang usia dan kepemulaannya termuda ini menyokong 9 puisi karyanya dalam antologi puisi "Kuputarung", malam itu membacakan 3 puisi.
Satu karya lainnya, yang merupakan karya eksplorasi serta dinukil dari interpetasi tembang shalawat, bertajuk "khasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man natsyr" dimusikalisasikan pula. Meskipun menjadi beda bukan tujuan semata, tetapi intervensi musikal telah membikin capaian tafakur puitik sesaat dalam kemesyukan.
Persoalan apakah dengan cara demikian lebih memudahkan penyampaian pesan kepada audiens; sedikit banyak harapan itu terkanal.



DODOTTIRO. Penyair yang juga pengamen jalanan ini, semula nervous jika harus tampil membacakan puisi karyanya. Ia memang menulis 7 puisi dalam antologi pertama terbitan SRMB. Tetapi tokh bapak satu anak ini mampu menguasai dirinya. Gayanya tenang, seperti mantri klangsir tanah yang mengulang mantra syair hadrah di dua tempat; pesisir dan padang pasir. Di era sebelumnya, ia mewakili komunitas yang betah bermalam-malam, begadang di gang suram, yang boleh jadi bakal mencibir saat menengok orang membaca puisi di ruang tertutup. Namun ia punya catatan filosofis lawas tentang masa belianya. Dan saat ia memutuskan bergabung dengan kelompok, saat ia merasa memasuki ruang yang lama direka dalam angan mudanya.



Beginilah gaya PEKIK SASINILO, mengaduk rasa sendiri sebelum mengharu-biru emosi audiens. Penyair yang terbanyak menyokong puisi dalam antologi "Kuputarung" dengan 12 puisi tulisan antara 1982-2009 ini; begitu matang. Meskipun ia sibuk juga sebagai seorang pendidik, tetapi tak surut keinginannya untuk menjadi penulis yang baik. Kesadaran itu berjalan seiring kesadaran bahwa faktor usia bukanlah kendala. Mencintai dan menjaga silaturahmi merupakan salah satu upaya. Salah satu judul puisi karyanya memang menjadi tajuk buku antologi ini, tetapi itu bukan rengkuh capaian akhir dari proses panjang yang telah ditempuh.



..Panggil aku Tan Moei.. teriak PITRA SUWITA; dan jangan panggil aku cina. Tawaran perspektif baru dalam melihat sentimen ras primordialsm yang dalam logika lama menjadi salah-kaprah. Sebagai pamong pengampu fungsi kultural di lingkungan, ia menyerap pembelajaranan sosial dari keseharian hidupnya.
Malam itu, ada yang berbisik perlahan, bahwa puisi tulisannya itu sebagai yang terbaik. Boleh saja, tetapi jika ia tengah berteriak, mana mungkin ia dengar orang mengelukan demikian ?
Ia nampak menjadi pembangun logika baru di sana, meskipun semua tahu bahwa urusan berpuisi bukan semata urusan logika. Penyokong 9 puisi pada antologi "Kuputarung" ini rajin memfasilitasi majlis.



Tak ada murid yang paling gelap sekalipun, di SRMB, yang tiada takjim pada Kiai sepuh ini. Namanya MALIK HASYIM atau lebih populer dengan sebutan mBah Limin. Ia memang Guru Tauhid yang tak pernah menggurui murid. Jika keimanan adalah sikap, maka kesehariannya adalah keteladanannya yang paling lekat. Seorang spiritualis di kawasan pesisir "urut-sewu" ini juga disegani para ulama. Pecinta majelis yang meyakini semua kesembuhan ada di sana.
Petuah kearifan juga sering mengalir dari penuturannya yang jenaka, maka fungsi penasihat tanpa disebut, telah lama bertaut. Pamong aktivitas spiritual lapanan SRMB ini menjadi imam yang bersahaja, sebagaimana keinginannya yang menyatu sejak pendirian Sekolah Rakyat MeluBae.



Namanya AKHMAD NUROKHIM, pemilik dan pengelola studio musik "Bulles Kreteg" di Logede. Dalam gelaran musik puisi "Kuputarung" ini, perannya lebih banyak meramu nada. Sebagai komposer, ia juga bisa nyanyi banter. Kecintaannya pada pembelajaran ia wujudkan pula di rumahnya, dengan memberikan les-private, kursus olah vokal, pelatihan perkusi dan belajar gitar.
Ia menjadi motor yang mendinamisasi pembelajaran kolektif di Sekolah Rakyat MeluBae, terutama dalam mempersiapkan acara launching buku antologi puisi perdana dengan referensi bermusiknya.



TORO MANTARA ini seorang yang jeli pada musik. Makanya ia mengambil peran besar dalam kerja mengaransement musik puisi sejak SRMB berdiri. Ia pula yang mengusulkan nama "MeluBae" di sana, dengan diksi yang kental pada isi, proses dan aktivitas kelompok, ketimbang nama besar. Falsafah lain yang sering jadi acuan mengolah suara, adalah bahwa sunyi itu pada dasarnya adalah musik! Pria yang memilih tetap melajang sampai detik ini, adalah pembelajar tai-chi dan pemain catur.



Inilah Trio Vokalis SRMB yang belia. WAHYU SEPTIA KURNIASIH dan SEPTIAN SUKMANINGRUM serta HIKMAH SUBEKTI. Mereka belum lama bergabung, tetapi intensitasnya kian terpupuk saja. Pembelajaran menjadi amat penting untuk dapat menjangkau segmen muda dengan segala impiannya.



Sepintas ia cuma pemasang pamflet di jalanan. Padahal INDRIOTOMO BRIGANDONO adalah seorang disainer grafis. Tetapi juga gemar nulis, intens berteater dan bertahan untuk membujang. Disain cover untuk sampul buku antologi puisi "Kuputarung" adalah salah satu hasil karyanya.


Jumat, 01 Mei 2009

Menghargai Puisi

Saat puisi dibacakan dan mendapat cemooh audiens maka saat itulah muncul pertanyaan sederhana. Mengapa?
Ilustrasi di atas lebih bersifat kasuistik dan tak terjadi pada semua event pembacaan puisi. Saat SRMB memfasilitasi penyelenggaraan arisan teater IV tahun 2008, juga ada seorang tamu komunitas yang menyatakan risi atas cemooh pada pembacaan puisi, sementara sang tamu ingin menikmatinya dengan suasana tenang. Tetapi bagi tamu lainnya, seorang lebda suku Mandar yang juga sesepuh Teater Flamboyant dari Polewali terhenyak di tempat lesehannya. Beliau, Alisyahbana datang bersama sahabat mudanya, Ridwan Ali, yang penulis buku Orang Mandar Orang Laut lebih terkesan dengan tampilan Seni Topeng "Cepet Alas" yang diboyong dari lereng barat laut pegunungan Condongcampur.
Mengapa harus ribut dengan kegaduhan yang muncul saat orang baca puisi?
Ya. Peristiwa itu bukanlah berdiri sendiri dan tentu ada sebab musababnya, ada relasinya. Mungkin orang telah jenuh dengan sajian yang itu-itu saja. Atau mungkin puisi telah disajikan kepada segmen yang berbeda dalam hal selera, misalnya. Atau boleh jadi memang penontonnya yang tidak sopan? Dengan kata lain tidak menghargai puisi?
Apa pun sebabnya, itu merupakan fenomena yang menarik buat disimak. Hal terbaik dari semua fikiran kita harus lepas dari asumsi benar-salah untuk menilai keduanya. Kuncinya tetap di tangan pelaku berkesenian itu. Bagaimana menyiasatinya.

Jumat, 20 Maret 2009

SRMB Bikin Antologi Puisi

Penyadaran Lingkungan Melalui Puisi, demikian judul berita di koran Suara Merdeka, edisi Selasa, 28 Oktober 2008, hlm.P-Merapi.
Begitulah, pada awalnya ide penerbitan buku antologì puisi Kebumen digagas dengan pendekatan tema lingkungan. Teknisnya dirumuskan ke dalam 3 tahapan.
Pertama, penyelenggaraan lomba cipta puisì bertema lingkungan hidup;
Kedua, penerbitan buku antologi puisi Kebumen, yang dihimpun dari hasil lomba penulisan puisi;
Ketiga; bedah buku antologì puisi, yang ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan kegìatan apresiasi puisi, pada komunitas terdidik serta masyarakat umum.

Sejak pemberitaan media tentang rencana itu, tak terjadi sebaran yang memungkinkan syarat-syarat prakarsa kolektif yang kuat. Secara internal, SRMB mengalami work-less, wuih..

Maka, setelah melewati momentum Ultah ke-6 pada 13 Januari lalu; gagasan terkait penerbitan buku antologi puisi itu menguat lagi.

Antologi Puisi 'Kuputarung' - I

Pada akhirnya inìlah yang paling dapat dìlakukan. Itu pun masih dalam segala kesederhanaannya. Buku ini berisi kumpulan 37 puisi karya 4 penyair yang bergiat di SRMB. Mereka adalah Daryono CengKim, Dodottiro, Pekik Sasinilo dan Pitra Suwita. Editing puisi dan pengantar dikerjakan Aris Panji WS. Disain cover dan cetak sampul didukung Indriotomo Brigandono.

Daryono CengKim menyertakan 9 puisi yang ditulis pada rentang tahun 2005 - 2009, sedangkan Dodottiro yang menyokong 7 puisi tulisan antara tahun 1992 - 2009. Penyair lain, Pekik Sasinilo dengan 12 puisi yang ditulis pada rentang 1982 - 2009. Dan 9 puisi lainnya ditulis Pitra Suwita antara tahun 2005 - 2009.

Pembuatan antologi puisi ini dilatari oleh keinginan, pertama, untuk mendokumentasikan karya penulis yang bergiat di komunitas ini.
Kedua, kebutuhan untuk menghidupkan lagi tradisi tulis-baca puisi yang pada gilirannya diharapkan akan dapat menopang aktivitas apresiasi seni sastra di daerah ini.

Tanpa bermuluk dalam capaian target, namun bahwa perlu ada buku yang dibuat sendiri dan diharapkan kesinambungannya.
Rencananya buku inì akan launching pada Sabtu, 25 Aril 2009 dan dikemas dalam musik puisi. Beberapa aransemen musik tengah diolah oleh Toro Mantara, Akhmad Nurokhim dan Dodottiro.

Judul antologi 'Kuputarung' dipilih dari salah satu puisi tulisan Pekik Sasinilo di tahun 1987. Pemilihan ini bukan berarti puisi 'Kuputarung' itu sebagai yang terbaik. Tetapi didasarkan pertimbangan bahwa judul puisi itu dapat mengingatkan masyarakat akan lanskap Kebumen di masalalu. Kuputarung adalah ikon, tetenger atau 'land-mark' jantung Kebumen.

:ada apa di jantung kota?
Gambaran hedonisme, marjinalisasi kelompok sosial tertentu, potret buram dari realitas sosial yang ada. Pada tahap tertentu, penyair menjadi saksi atas kondisi yang memprihatinkan; yang terkadang luput dari perhatian khalayak.
Dan secara umum, 37 puisi yang terangkum dalam antologi pertama terbitan SRMB ini akan di'musikalisasi'kan pada Sabtu, 25 April 2009. Pagelaran musik-puisi, dalam beberapa tahun terakhir menjadi cara komunitas ini mengkomunikasikan karya sastra.

Antologi puisi ini juga akan dibawa pada kegiatan-kegiatan apresiasi berikutnya di beberapa tempat, seperti sekolah dan kampus yang ada.

Selasa, 03 Februari 2009

Antara Dongeng dan Monolog, Ada Apa?

Di gedung PGRI Kebumen pada Senin, 2 Februari 2009 digelar monolog "Kaprah" oleh Sanggar Sastra Wedang Kendi, Purwokerto. Naskah tulisan Agus Salim ini dimainkan selama 1 jam 15 menit oleh Ryan Rahman, dibantu Nursalim pada set dan tata lampu di malam itu. Hanya ada selusin penonton di dalam gedung, setelah 2 orang meninggalkan ruang pada menit ke lima. Tapi ke 12 penonton laìnnya tetap bertahan hingga usai pementasan.
Naskah "Kaprah" lebih mengeksplorasi impian mayoritas warga masyarakat, masyarakat dengan segala bentuk modernitasnya. Modernitas kekinian yang menutup pintunya bagi kelas sosial terbawah. Bagi kebanyakan orang. Di sisi lain, modernitas demikian telah menjelmakan obsesi meluas. Pada wìlayah ìnilah debut eksplorasi "Kaprah" itu.

Keaktoran Ryan Rahman

Keberanian menjadi hal menonjol dalam mengusung naskah yang sebenarnya sarat dengan paparan realita sosial obyektif. Keberaniannya yang lain yalah manuver yang dibuat meloncat pada sebagian dari naskah, akan tetapi menghasilkan monolog yang monoton. Apakah itu disengaja atau lantaran belum cukupnya akumulasi 'subject-capital' sang aktor; maka nampak sama-sama kaburnya.
Di depan selusin apresian, ia lebih nampak sebagaì penutur tunggal atau pendongeng ketìmbang aktor panggung monolog yang dibawakannya.
Tetapi melakukan eksplorasi fisik dan psikis selama lebih dari 1 jam secara maraton, itu bukan hal biasa; meski bukan untuk tujuan memecah rekor.
Memang tak ada yang pecah di penonton, baik tawa maupun celoteh. Fakta ini melengkapi dataran rahasia yang membeku di sana. Ada apa? Tak ia hiraukan itu.
Jadilah, di tengah sett yang terkesan sederhana, keaktoran Ryan hanya mewakili bangunan watak personal.

Ada Apa, Apresian..

Bagian yang tak kalah menarik dari 'peristiwa' malam itu, bukan pada pentas monolog, tapi justru ditemukan di sessi dialog. Forum yang semula dimaksudkan untuk evaluasi pementasan, telah berkembang begitu egaliter. Masih dengan selusin penonton yang 'ngoyod' di lantai gedung, pendiri Sanggar Sastra Wedang Kendi itu berharap input atas pentas monolognya. Ketika seseorang memulai dengan kesan minimnya eksplor dialog, sehingga lebih terkesan 'pangudarasa' ketimbang monolog. Maka ada yang hilang, jika dirunut dari awal-awal pentas monolognya. Adegan (out-stage) seseorang yang tengah mandi sambil solilokui keras, cukup menjadi daya tarik awal yang baik hingga beberapa menit berikutnya.
Di mata Ubaidilah, salah satu penonton, melihat hilangnya kekuatan karakter tokoh dalam 'Kaprah'. Kesan lurus atas mind-set Ryan, mematìkan penokohannya.
Ada yang melihat bagaimana keringnya Ryan bikin adonan pentas monolognya. Aris Raharjo menyayangkan tak munculnya obyek eksploran, di mana dalam kemiskinan tersimpan daya kreatif. Ryan, oleh karena kurang melakukan observasi, cuma memvisualisasikan fatalisme belaka. Bahwa tak semua, dalam monolog, dibahasakan secara verbal.
Sorotan terhadap manajemen pementasan muncul dari dua penonton lain; AgusBudiono dan ArieSubowo. Agus tak melihat adanya arahan dalam pentas Ryan dan tak habis pikir bagaimana bisa -seperti diakui Ryan- kalau 50 persen lebih dihasilkan dari keaktorannya? Ari menyoroti pula nihilnya manajemen entertainment, sehingga tak jelas genre atau konsepnya: serius ataukah lawakan. Esensi 'Kaprah' menurutnya, bukan pesan kemiskinan. Tapi lebih sebagai dreamy kaum intelek yang tak punya akses. Pentas ini juga tidak memotret kapasitas pemirsa dalam menerima hal-hal melelahkan dan menjenuhkan.
"Pentas monolog Kaprah, datar-datar saja", keluhnya.
Kekecewaan pun muncul dari seorang Putut AS. Pentolan teater 'Ego' ini kecewa sejak persiapannya. Namun begitu, ia mau juga memberi masukan sampai hal-hal teknìs. Seperti vokal yang tak diolah sampai artikulasi yang tak jelas. Menurutnya, untuk menjadi aktor monolog panggung, setidaknya mesti lebih kualified ketimbang pendongeng. Pendongeng saja dituntut mampu memainkan 1 sampai 5 atau 9 karakter. Atau bahkan karakter binatang sekali pun.
Dialog pasca pementasan 'Kaprah' nyaris jadi debat kusir, kalau saja tetap disikapi dengan dalih-dalih reaksioner. Bahwa pentas 'Kaprah' tak lebih dari dataran panjang lurus tak bergunduk. Ada jenuh memarit yang bikin penonton menghindar memasukinya. Dan itu sama sekali beda dengan argumen 'kolega' Ryan; setter Nursalim yang coba mengintrodusir bagaimana pentas 'Waiting for Godot' nya Samuel Beckett. Alih-alih menguatkan argumen sang aktor, tapi ia lupa duduknya perkara. Maka sebenarnya justru nampak bahwa itu cuma bentuk lain dari pembelaan reaksioner saja. Ia lupa bahwa 'paparan jenuh' yang melahirkan Nobel bagi Samuel itu, sebuah kehormatan dunia atas 'Waiting for Godot' sebagai sebuah karya sastra. Dan bukan atas pementasannya.
Jika melihat begitu samarnya ruang abu-abu antara dongeng dan monolog 'Kaprah' malam itu, maka pantas jika ada esensi komunikasi yang terpasung. Hasilnya, seperti lansir ambigunya Pekik Sasinilo pada sessi ahir dialog. Meski seringkali sang 'pendongeng' Kaprah melucu, tak pernah pecah tawa di situ. Ini bisa jadi preseden menarik. Bahwa dongeng 'Kaprah' telah dìbawa Ryan pada penonton yang 'jahat tapi sopan'.
"Jahat, sebab yang jenaka tak menemukan tempatnya. Tapi untung, karena penontonnya sopan-sopan semua" katanya mengakhiri.

Sabtu, 17 Januari 2009

Sekolah mBayar Karep; sebuah Refleksi (3)

Mendirikan Kemauan, ternyata merupakan fase terpenting di Sekolah Rakyat MèluBaé. Catatan ini dibuat sebagai sekumpulan transkrip pelaksanaan malam syukuran Ultah ke 6, yang peringatannya dilangsungkan di Gg.Tengah 21, Kebumen; pada hari Sabtu 17 Januari 2009.
Acara yang baru dapat dimulai dari jam 21.00 wib itu, dihadiri tak kurang dari 30 orang. Berasal dari desa-desa seperti Jagasima, Tanggulangin, Kalìwungu dan Bumiharjo di Kec. Klirong. Disamping dari lingkungan dan beberapa kelurahan di wengkon Kec. Kebumen dan Kec. Alian; acara ini dihadiri oleh beberapa wakil kelompok teater dan bahkan Komunitas 'Petarung' Jalanan dari komplek terminal Purworejo.
Acara dibuka oleh fasilitator dan pegiat seni Pitra Suwita ini langsung dibacakan do'a tahlil yang dipimpin oleh 'guru tauhid' SRMB, K. Malik Hasyim alias mBah Limin.
Di sela pengantar do'a, kyai sepuh dari kawasan budaya 'urut séwu' itu berharap majlis pembelajaran MéluBaé ini dapat terus dipertahankan eksistensinya, sehingga makin memberi manfaat nyata bagi peri kehidupan bersama.
Setelah usai do'a syukur bersama, sesepuh komunitas ini memotong tumpeng dan dilanjutkan dengan makan bersama. Suasana nampak penuh rasa kekeluargaan, karena ikut pula para istri dan anak-anak.
Pekìk Sasinilo, koordinator divisi teater, memberikan pengantar pendek namun cukup menyentuh. Ia menyatakan bahwa selama 6 tahun ini telah terjadi interaksi yang panjang. Pada prinsipnya, komunitas ini bersifat terbuka bagi siapa saja. Apabila di kilas balik, dalam pasang-surut perjalanannya ditemukan sebuah kekuatan luar biasa. Luar biasa, mengingat tak ada buai impian apa-apa yang menarik dan mengikat komunitas ini. Satu-satunya ikatan dalam komunitas ini, sebagai rasa persaudaraan semata.
"Kami saling mengenali bukan hanya antar sesama teman dalam kelompok, tetapi juga berikut para istri, keluarga dan saudaranya".
Ia berharap persaudaraan "MéluBaè" dapat terus terjaga.
Dalam kesempatan yang sama, Aris Panji, mengulas sedìkit, problematika berkesenian yang ikut melatari pendirian majlis, yang sejak masa awal pasca pendiriannya disebut sebagai Sekolah Rakyat MéluBaè.

Filosofi Tumpeng
Ulang tahun ke 6 SRMB, sebagaimana dituturkan K. Malik Hasyim menjadi menarìk karena masih dalam suasana bulan Asyuraa. Spiritualis kampung pesisir ini ini memerikan wewarah kearifan tentang 'tumpeng' yang barusan dipotong. Menurutnya, 'tu' bermakna jika tiba waktu, maka harus 'peng' yang bermakna mempeng

Senin, 12 Januari 2009

Catatan Kecil dari GELAR TEATER Kebumen

Atas prakarsa Fopset (Forum Pekerja Seni Teater) Kebumen, maka pada tanggal 9-10 Januari 2009 lalu diselenggarakan sebuah parade teater yang diikuti 6 kelompok. Pementasannya difasilitasi oleh PGRI Kebumen, diselenggarakan pada malam hari dimulai jam 19.30 dan diakhiri dengan sarasehan budaya.
Keenam grup teater itu: Smenven, SMP Muh 2, sanggar Guyub Larak, Sekolah Rakyat MèluBaé, teater Anjal dan teater Ego.
Perimbangan penampil antara kelompok teater 'sekolahan' dengan kelompok 'umum' terjadi di sini. Smenven mengusung teaterikalisasi puisi dengan paduan gaya dongeng menampilkan suguhan khas ABG. Sementara SMP Muh 2 menampilkan fragmen "Story Telling", sebuah penuturan cerita yang seluruhnya disampaikan dengan bahasa Inggris; tak jauh beda. Satu lagi kelompok teater yang berasal dari institusi pendidikan adalah Teater Anjal dari AMìK PGRI Kebumen. Kelompok terakhir ini menyajikan dilema urban sebagai kaum yang gagal direpresi modernitas.
Sedangkan dari kelompok teater 'umum' yang terdiri dari 3 kelompok tampil dengan varian relatif berbeda.
Sanggar Guyub Larak menampilkan cerita klasik yang paling sering digarap. Sayangnya, di tangan grup ini lakon 'Andé-Andé Lumut' tak cukup bertenaga. Meski ada upaya untuk keluar 'pakem', namun keberanian ini tak diimbangi dengan keahlian penggarapan. Jadinya, lebih terkesan monotone dan boros durasi, ketimbang bikin ending kejutan 'aneh' saat tokoh sentral lakon klasik ini memilih kawin dengan sang antagone.
Kejenuhan penonton dalam menyimak kiprah panjang, berhasil disegarkan saat SR 'MéluBaè' menampilkan anekdot pendek berjudul "JaLeg" Meski SRMB bukanlah grup teater murni dan sajiannya hanya berdurasi 15 menit. Namun kemeriahan penonton telah menunjukkan fakta berbeda. Dagangan a-politis yang seakan menjadi sikap kelompok ini, dikemas dengan lugas sehingga tak nampak secara verbal sebagai sebuah cara melawan sistem yang telah usang.
Berbeda dengan dua penampilan di atas, adalah Teater Ego yang telah cukup baik penguasaan aspek dramaturgi, namun hanya terpusat pada dua tokoh sentral. Memaparkan relasi feodal, dimana tuan majikan yang 'menguasai' dunia. Sebuah ironi lain yang getìr dan mengabaikan nasib mayoritas 'warga' dunia. Drama ini bertutur perihal antagonisme klas dalam relasi kemanusiaan. Sekaligus mengingatkan kita pada kearifan; karena betapa pun serakah manusia yang mengakumulasi benda-benda. Pada akhirnya ia hanya membutuhkan sejengkal tanah

- bre kastari

Kamis, 08 Januari 2009

Sekolah mBayar Karep, sebuah Refleksi (2)

Interaksì sosial di kawasan budaya 'urut sewu' telah memunculkan dukungan, termasuk dari kalangan ulama lokal. KH. Abu Darin, K.M. Muttaqien, K. Abu Supyan dan K. Malik Hasyim yang lebih populer dipanggil mBah Limin. Dukungan juga datang dari kawasan tengah, seperti dari Gus Nawawi, pemimpin majlis dzikir SapuJagat. Bahkan juga dari kawasan hulu jauh, ada mBah K. Muchtar.
Dukungan ini muncul lebih disebabkan adanya interaksi pemikiran dan aktivitas spiritual Kajian tauhid dengan pendekatan nalar, acap memunculkan pula tema-tema sosial yang aktual.
Referensi ini mendekatkan ide-ide kepada realita obyektif. Lanskap Kalibuntu bermakna lanskap pemikiran 'pembelajaran' yang membebaskan. Ide wisata spirituil dan pesantren plus pun bermetamorfosa menjadi laboratorium pembelajaran yang mengenal 2acuan: alamiah dan dialektis.

Anggota Komune

Sejatinya tiada istilah 'anggota' dalam SRMB. Sejak berdiri (2003) belum pernah dilakukan pendaftaran anggota, lama maupun baru. Sifat sebagai majlis pembelajaran kolektif, sangatlah terbuka bagi siapa pun untuk masuk dan terlibat, maupun keluar tiap saat. Tak ada aturan formal, kecuali ikatan yang mendasarkan pada kesepakatan bersama. Dalam bahasa lain disebut komitmen. Jadi selama ia berkomitmen, maka selama itu pula masa keanggotaanya.
Diantara yang pernah terlibat proses kerja serta memiliki komitmen itu ada nama-nama:

1. PekikSasinilo 2. Pitra Suwita
3. Toro Mantara 4. Daryono CengKim
5. Daryanto 6. Arif Hudoyo Rbl
7. Retno Budiningsih 8. Ika Puspitasari
9. Erlin Agustine 10. Tofik Pioel
11. Suciptadi 12. Sodikin
13. gus Nur 14. Sarimun
15. Muhtadien 16. Itong Toto K
17. Catur Rante 18. Widhi Sasongko
19. Slamet Eser 20. Theo Darma
21. Yanto Comres 22. Oni Suwito
23. Dodi Dodotiro 24. Untung Wasito
25. K. Malik Hasyim 26. K. AbuSupyan
27. K. M.Muttaqien 28. K. Muchtar
29. Gus Nawawi 30. K.H. Abu Dharin Mst, alm
31. Sumanto 32. Sudarto
33. Galih 34. Mardikun
35. Bechi 36. Purnomo Jati
37. Farida Tan 38. Zein Rafsan Sani
39. Rahmatika 40. Atika
41. Septian Sukmaningrum 42. Elok Alatas
43. Hj. Komariyah 44. Puji Rekso Pamungkas
45. Hasan L. Alatas 46. Darmawan Ri
47. Arifin 48. Bibit
49. Jefri 50. Oki
51. H. Dalail 52. Sukamto
53. Muchriyanto 54. Mardiyanto
55. Nahl Firdaus 56. Nasirudin AM
57. Nashikhudin 58. Dawamudin M
59. Bambang Sucipto 60. Tobi Murdjiantoro
61. Dulqoful 62. Subiyanto
63. Alìsyahbana 64. Ridwan Ali
65. Soni Wijaya 66. Rusmiyati
67. Aris Panji 68. Imam Setianto

Rabu, 07 Januari 2009

Sekolah mBayar Karep, sebuah Refleksi (1)

Sekolah mBayar Karep; adalah bagaimana memaknai 'sekolah' yang esensinya adalah 'belajar' dengan satu syarat, yaitu kemauan.
Sederhana? Ya. Tapi tidak juga. Bahwa belajar itu butuh kemauan, menurut kami; itu fundamental. Kenapa? Karena kemauan itu amat personal dan tak bisa dicari di luar diri. Jadi kemauan memang mesti di'diri'kan pertama. Baru kemudian mencari atau mengadakan syarat-syarat lainnya.
Mendirikan kemauan, sepintas mirip dengan idiom mendirikan sholat; sederhana tapi tidak lah gampang.

Pendirian SRMB

Nah, pada hari Senin, 13 Januari 2003, sekelompok orang yang sejak lama bermunajat serta melakukan aktivitas berkesenian bersama; berkumpul setelah agak lama tak saling ketemu. Belasan orang itu bikin janji bertemu di salah satu rumah, tepatnya di Gg.Tengah No. 31, Kebumen. Dalam pertemuan mana dibìcarakan hal ihwal yang mengarah pada keberlangsungan aktivitas bersama itu. Pada akhirnya disepakati dengan mendirikan semacam wadah pembelajaran bersama dengan nama 'MeluBaè'. Ikut saja, menjadi dasar motivasi pembelajaran.
Kemudian, ide-ide ini dieksplorasi lagi pada banyak pertemuan. Tepat pada saat mana, kelompok ini tengah melakukan kegiatan 'ngamen' musik-puisi di belasan sekolah, dan bahkan pada sebuah acara pasca sidang pleno di DPRD. Ide-ide kemandirian 'Melubae' mendapat peluang disosialisasikan.
Gayung bersambut di luar itu, di kawasan budaya 'urut-sewu' pesìsir selatan Kebumen. Tiga ulama lokal dan beberapa kiai juga telah lama bermunajat. Bagaimana memanfaatkan 'warisan' mushola beserta aula di pesisir Kalibuntu, desa Jagasima, Klìrong. Pergaulan ide-ide dasar ini banyak dikaji di sana, tanpa mengganggu ngamen apresiasi di beberapa sekolah formal.
Jadilah pesisir Kabuaran di Kalibuntu itu semacam 'laboratorium alam' majlis MéluBaè. Maka kajian mengenai dasar-dasar pendirian Sekolah Rakyat dilakukan tiap akhir pekan.
http://www.blogger.com/img/blank.gif
masukkan tag cetak tebal
Interaksi Sosial

Menjalin hubungan sosial dilakukan dengan berkesenian. Musik puisi, pentas rebana alternatif, pentas teater, menyelenggarakan lomba-lomba seni. bahkan turnamen catur. Juga bermain sinetron, hasil kerjasama dengan media lokal, RatihTV, menghasilkan 7 episode guna mengisi paket Ramadhan 1826 H. Banyak orang terkejut, tapi yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa biaya atas keseluruhan proses produksi, termasuk editing garapan BrainMultiMedia, hanya menghabiskan tak lebih dari Rp. 7 juta. Pernah menjadi bintang tamu pada Festival Seribu Rebana.
(to be continued)