
Keenam grup teater itu: Smenven, SMP Muh 2, sanggar Guyub Larak, Sekolah Rakyat MèluBaé, teater Anjal dan teater Ego.
Perimbangan penampil antara kelompok teater 'sekolahan' dengan kelompok 'umum' terjadi di sini. Smenven mengusung teaterikalisasi puisi dengan paduan gaya dongeng menampilkan suguhan khas ABG. Sementara SMP Muh 2 menampilkan fragmen "Story Telling", sebuah penuturan cerita yang seluruhnya disampaikan dengan bahasa Inggris; tak jauh beda. Satu lagi kelompok teater yang berasal dari institusi pendidikan adalah Teater Anjal dari AMìK PGRI Kebumen. Kelompok terakhir ini menyajikan dilema urban sebagai kaum yang gagal direpresi modernitas.
Sedangkan dari kelompok teater 'umum' yang terdiri dari 3 kelompok tampil dengan varian relatif berbeda.
Sanggar Guyub Larak menampilkan cerita klasik yang paling sering digarap. Sayangnya, di tangan grup ini lakon 'Andé-Andé Lumut' tak cukup bertenaga. Meski ada upaya untuk keluar 'pakem', namun keberanian ini tak diimbangi dengan keahlian penggarapan. Jadinya, lebih terkesan monotone dan boros durasi, ketimbang bikin ending kejutan 'aneh' saat tokoh sentral lakon klasik ini memilih kawin dengan sang antagone.

Berbeda dengan dua penampilan di atas, adalah Teater Ego yang telah cukup baik penguasaan aspek dramaturgi, namun hanya terpusat pada dua tokoh sentral. Memaparkan relasi feodal, dimana tuan majikan yang 'menguasai' dunia. Sebuah ironi lain yang getìr dan mengabaikan nasib mayoritas 'warga' dunia. Drama ini bertutur perihal antagonisme klas dalam relasi kemanusiaan. Sekaligus mengingatkan kita pada kearifan; karena betapa pun serakah manusia yang mengakumulasi benda-benda. Pada akhirnya ia hanya membutuhkan sejengkal tanah
- bre kastari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar