Catatan Festival Ke-2 FoPSeT
Sebanyak 7 kelompok peserta tampil pada acara Festival Teater SLTA se Kab. Kebumen, yang dihelat hari ini oleh Forum Pekerja Seni Teater (FoPSeT) di Aula Gedung PGRI, Jl. Kaswari Kebumen. Ke 7 peserta itu masing-masing adalah Teater Mugo (SMA Muhammadiyah Gombong), Teater Flamboyant 75 (SMK Batiksakti 1 Kebumen), Teater Ijo (SMK Ma'arif 4 Kebumen), Teater Smanja (SMU Negeri Pejagoan), Teater Tetas (SMK Muhammadiyah Sempor), Teater Kelir (SMU Negeri Klrong), Teater Kumat (SMK Negeri 1 Kebumen).
Pages
▼
Minggu, 27 November 2011
Senin, 17 Oktober 2011
DKD, Pentingkah ?
Catatan Sarasehan DKD Kebumen
Harapan
bahwa pemerintah harus memberikan perhatian pada kehidupan berkesenian di
daerah ini begitu menguat kemunculannya. Sarasehan yang semula dipersiapkan
untuk sharing pemikiran dan ide-ide para pegiat seni, pun jadi lebih mereview
perjalanan kepengurusan DKD yang dinilai mandek. Menguatnya harapan yang lebih
menyandarkan pada peran dan fungsi DKD ini bahkan membuat sang moderator tak
bisa berbuat banyak. Secara struktural DKD telah dipandang semata sebagai
manifestasi pemerintah yang harus memberikan perhatian lebih pada aspek
“pembinaan” dan pengembangan berkesenian di Kebumen.
Perhatian
yang dituntut dari para pegiat seni, terutama kalangan seniman tradisi pun jadi
bermacam bentuknya. Mulai dari aspek legalitas kelembagaan DKD, support
pendanaan dan sarana infrastruktur seperti Taman Budaya atau Gedung Kesenian yang
memang belum dimiliki daerah ini.
Memahami Persoalan Mengatasi Kemandekan
Beberapa seniman muda justru mengemukakan pemikiran yang lebih mengarah pada kemandirian. Tanpa memungkiri kebutuhan tersedianya pusat aktivitas seperti Gedung Kesenian, sehingga dapat mengurangi problem-problem berkesenian. Namun ada yang lebih substansial menyoroti pentingnya komunikasi lintas bidang dan bagaimana menumbuhkan semangat kolektivisme; sebelum berfikir untuk "re-organisasi" kelembagaan. Beberapa pegiat seni justru menguatkan fakta empiris bahwa ada atau tidak ada dukungan pemerintah, proses berkesenian tetap lah jalan.
Urgensi memahami persoalan dalam kesepahaman bersama, justru lebih penting sebelum berfikir untuk membentuk kembali DKD. Karena jika tidak, maka akan terjebak kembali pada lubang yang sama.
Kamis, 29 September 2011
Menyoal "disfungsi" Kelembagaan DKD
Rabu, 28 September 2011. Belasan pegiat seni Kebumen menginisiasi
pertemuan dengan Ketua DKD Kabupaten Kebumen di Sekretariat Sekolah Rakyat
MeluBae (SRMB), Jl. Pemuda, Gg. Melati 21B, Kebumen. Acara yang pada awalnya
dikemas sebagai “Syawalan” dan Dialog Budaya ini, merupakan upaya lanjut
pertemuan seniman teater se eks Karesidenan Kedu di Sanggar Matahari, Purworejo
(25/9) lalu. Pertemuan Purworejo yang diprakarsai Komite Teater – Dewan
Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Thomas Haryanto Soekiran, pada prinsipnya
melahirkan komitmen bersama seniman teater di wilayah eks Karesidenan Kedu.
Yakni Kebumen, Wonosobo, Temanggung, Magelang dan Purworejo sendiri. Komitmen
yang dibangun, berupa kesepahaman perlunya Arisan
Teater se eks Karesidenan Kedu.
Sedangkan dalam pertemuan 3,5 jam Dialog Budaya SRMB yang menghadirkan
Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen, pada akhirnya memang menjadi ajang
perbincangan menyoal peran dan fungsi kelembagaan dari DKD.
“Sebagai Ketua DKD, saya minta maaf karena selama kepengurusan saya, DKD
menjadi impoten”, kata Basuki Hadi Prayitno, mengawali sambutannya dengan nada
prihatin dan jujur.
Perihal “disfungsi” kelembagaan DKD Kab. Kebumen ini juga telah lama
menjadi keprihatinan tersendiri bagi para pekerja kesenian daerah yang belum
memiliki gedung kesenian ini.
Hadir pada malam Dialog Budaya SRMB, beberapa pengajar dan pegiat seni diantaranya
Sukarjo, pegiat dan pelatih Seni Musik Tradisional dan Kerawitan. Hadir pula
pegiat teater Putut AS, Syahid Elkobar, Pitra Suwita, Pekik Sasinilo. Pegiat
Musik Puisi Nurokhim dan Toro Mantara, serta penyair Aris Panji Ws yang dalam
bulan ini menerbitkan 2 antologi puisinya bersama Masjid Raya Publishing.
Dalam dialog ini juga disepakati perlunya tindak lanjut dengan tema
Mengkonsolidasikan DKD melalui pertemuan berikutnya yang melibatkan praktisi
dan pegiat seni lebih luas lagi. Semua ini, menurut pegiat SRMB, Pekik
Sasinilo, akan dikonsultasikan dengan fihak Pemerintah dan Lembaga Legislatif
daerah.
Kamis, 22 September 2011
Minggu, 14 Agustus 2011
Multatuli dari Pulau Jawa
August 14, 2011
Buku "Meraba Indonesia" (2011) karya Ahmad Yunus. Foto: www.serambi.co.id.
Buku “Meraba Indonesia” karya Ahmad Yunus ini membuat
kepala saya sakit. Salah satunya karena foto anak perempuan di Pulau Sebatik,
Kalimantan Timur. Ia berseragam putih biru, khas anak Sekolah Menengah Pertama.
Di atas sakunya tertempel bendera merah putih.
Seketika rontok pemahaman-pemahaman kita mengenai apa itu
pendidikan, apa itu sekolah. Filosofi pendidikan tak menemui muaranya pada
seragam yang ditempeli bendera itu. Ia lebih memberi tanda akan pembentukan
suatu barisan ketimbang mengedepankan suatu sistem pikiran yang membebaskan.
Jika pun dikatakan bendera di seragam sekolah itu untuk
menumbuhkan kecintaan kepada negara Indonesia, atau penguat identitas negara,
maka pertanyaannya adalah, kenapa di sekolah-sekolah lain, di tempat lain, hal
serupa tak diberlakukan? Karena Sebatik adalah perbatasankah? Lalu kenapa
dengan perbatasan?
“Mungkin ingin menampilkan identitas bahwa mereka bagian
dari Indonesia. Namun tak ada bukti nyata antara nasionalisme Indonesia dengan
kehidupan di Sebatik. Kehidupan di Sebatik masih tetap seperti etalase yang
muram dan miskin,” tulis Yunus (halaman 185).
Terlalu banyak pertanyaan dari satu foto anak remaja
putri itu. Dan itu bukan hal terakhir yang disajikan penulis secara
menggemaskan.
Di Selat Malaka, misalnya, dalam perjalanan dari Dumai
(Riau) menuju Batam (Kepulauan Riau), kapal pengangkut sayur dan buah yang ia
naiki dicegat sebanyak empat kali. Dan akhirnya ia paham kenapa kawasan itu
disebut rawan. Pun siapa sebetulnya yang disebut sebagai bajak laut (halaman
95-98).
Cegatan pertama dilakukan oleh marinir angkatan laut
Indonesia. Pada tentara-tentara itu, awak kapal sayur memberikan setoran
sebanyak empat lembar uang lima puluh ribu rupiah. Cegatan kedua masih datang
dari angkatan laut Indonesia. Kapten kapal lalu memberikan 150 ribu rupiah.
Yang ketiga adalah polisi laut Indonesia, ketika kapal sayurnya dekat dengan
pelabuhan Singapura. Setorannya sebesar dua ratus ribu rupiah. Dan cegatan yang
keempat juga dari polisi laut Indonesia. Di sini setorannya 150 ribu rupiah.
Kapal sayur itu mengalami semua ‘cegatan kotor’ justru
ketika mata-mata memandang kapal-kapal besar mengantri memasuki perairan
Malaysia dan Singapura.
“Ketika di atas kapal sayur,” tulis Yunus (halaman 98),
“saya melihat begitu padatnya jalur di wilayah internasional. Banyak kapal
berukuran raksasa mengangkut kontainer. Sementara di wilayah laut Indonesia
hanya diisi lalu lintas kapal sayur dan kapal jet transportasi laut.”
Kisah-kisah tak baik semacam ini, yang bertebaran di
hampir tiap halaman, merupakan catatan penulis dalam perjalanannya mengelilingi
bumi Indonesia yang disebut “Zamrud Khatulistiwa”. Tapi Yunus tak sendiri. Dengan dua
buah sepeda motor, ia menjalani petualangan ini dengan Farid Gaban. Keduanya
adalah wartawan dari Pulau Jawa. Yunus seorang Sunda dan Farid seorang Jawa,
dengan rentang generasi yang berbeda.
Selama hampir setahun, 2009-2010, keduanya memotret,
dengan kata dan gambar, tentang wajah fisik di sejumlah tempat di Indonesia.
Entah itu kemiskinan, kesulitan hidup, kehancuran infrastruktur di seluruh
lini, pendidikan, lingkungan, atau terpojoknya masyarakat (adat). Dan penulis
nampak geram dengan itu semua. Dalam tulisannya, penulis bagai seorang
nasionalis yang membawa sekian harapan dan gagasan keindonesiaan dari Pulau
Jawa namun berselisih dengan apa yang terpandang dan terasakan. Ia laksana
sedang menguji nasionalisme Indonesia. Dan dengan serius ia melemah.
“… nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme khayalan.
Dan khayalan bisa saja kabur dan kemudian menghilang dengan khayalan lain.
Seperti sayup-sayup dan kemudian senyap ditelan angin dari tepi Samudera
Pasifik yang bergemuruh,” tulis Yunus (halaman 276).
Persoalan Meraba
Indonesia
Judul buku “Meraba Indonesia” yang terbit pada 2011 ini nampak begitu gagah. Ia menyiratkan sebuah pembacaan ulang atas keindonesiaan. Apalagi, penulis seperti terinspirasi pada Alfred Russel Wallace yang menulis buku “The Malay Archipelago” dan Che Guevara yang berkeliling Amerika Latin dengan sepeda motor.
Akan tetapi, nuansa intelektual pada judul itu agak
teranulir dengan adanya subjudul “Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara.” Judul
yang sudah memikat itu, dalam perspektif saya, roboh dengan subjudul yang amat
bercitarasa ‘remaja’ itu.
Jika Wallace yang mengeliling kepulauan yang kini disebut
Indonesia itu menghasilkan gagasan, pun Che Guevara, nampak bahwa penulis tak
mengarah ke sana. Ibarat tamu, penulis seperti sekedar melihat rumah-rumah yang
ia lewati. Ia tak masuk ke dalam dan menulis berbasis perspektif empu rumah.
Dan karenanya, tulisan kecil di depan sampul bukunya, yakni “Mengenal lebih
dekat, lebih rekat…” menjadi tak mewujud.
Yang menarik, pada saat yang sama, penulis tak banyak
menceritakan ihwal Jawa dan bagian-bagiannya. Dan itu yang menjadi pertanyaan
mula-mula, pada siapakah buku ini ditujukan? Pada orang Jakartakah?
Penggunaan istilah ‘nusantara’ yang digunakan berganti-ganti
dengan nama ‘Indonesia’ juga cukup mengherankan buat saya. Seolah keduanya
adalah identik dan dapat saling menggantikan. Tapi agaknya ini wajar. Referensi
penulis adalah buku Alfred Russel Wallace yang diterjemahkan oleh dua penerbit
di Jawa sebagai “Kepulauan Nusantara”.
Penulis rupanya tak tergelitik untuk mencari tahu, kenapa
dua penerbit di Jawa itu mengganti judul “The Malay Archipelago” menjadi
“Kepulauan Nusantara”? Padahal, dalam buku aslinya, tak sebiji pun tertulis
istilah ‘nusantara’. Menjadi pertanyaan buat kita semua, apakah “The Malay
Archipelago” tak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia? Apakah Melayu identik
dengan nusantara? Atau ada politik bahasa di sana, yang dimakan bulat-bulat
oleh penulis, betapapun ia sudah ke lapangan dan punya kesempatan untuk menguji
istilah ‘nusantara’?
Akan tetapi, tak hanya penerbit Jawa yang mengganti buku
Wallace. Penerbit di Belanda pun sama. “The Malay Archipelago” diganti menjadi
“Insulinde: het land van den orang-oetan en den paradijsvogel”. Belanda tetap
seperti dahulu, menganggap orang-orang kulit coklat ini adalah insulinde, the
islands of the Indies, orang-orang Indian.
Nama ‘Indonesia’ pun terasa tak maksimal dielaborasi oleh
penulis. Meski menyebut George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan
dengan argumentasi etnografi dan geografi masing-masing, penulis alpa pada
pengertian Indonesia itu sendiri. Penulis tak mengatakan bahwa nama ‘Indonesia’
merupakan pemendekan dari ‘Indian
Archipelago‘yang ditambah ‘nesia’ dari usulan Earl, yang teringat pada
“Polinesia”, yang berasal dari bahasa Yunani.
Nampaknya, penulis memang tak membaca dari sumber asli
mengenai nama ‘Indonesia’. Ia keliru ketika menyebut 1847 sebagai tahun
penerbitan “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” yang berisi
perdebatan nama “Indonesia”. Padahal, yang benar adalah 1850, yakni edisi
keempat dari jurnal itu. 1847 adalah tahun jurnal itu diterbitkan pertama kali.
Sebagai jurnal, ia terbit per tahun.
Persoalan lain yang terbentang di buku ini adalah
penggunaan istilah pulau ‘terluar’ pada kawasan-kawasan perbatasan Indonesia.
‘Terluar’, tentu saja, mengindikasikan suatu ruang yang ada di luar, terdekat
dari luar, bukan di dalam. Sebetulnya, penggunaan istilah ‘pulau terluar’ sudah
diganti banyak orang dengan ‘pulau terdepan’.
Terkadang, gaya berpikir penulis untuk menunjukkan ruang
juga terlihat ganjil. Selain berulang-ulang menyebut ‘pulau terluar Indonesia’,
ia juga kerap menyebut nama mata angin terlebih dahulu baru nama ruang. Ia,
misalnya, mengatakan ‘selatan Sulawesi’ pada Selayar dan Takabonerate. Istilah
‘selatan Sulawesi’ tentu mengindikasikan Selayar dan Takabonerate bukanlah
Sulawesi. Ini serupa ketika orang salah kaprah menyebut Timur Indonesia, dari
yang semestinya Indonesia Timur.
Melewatkan
Masyarakat
Yunus dan Farid memulai perjalanannya dari Jakarta untuk kemudian memasuki Sumatera dari Lampung dan seterusnya hingga Aceh. Di kawasan-kawasan itu, penulis menceritakan ihwal perjumpaannya dengan penduduk-penduduk setempat. Tapi banyak yang betul-betul hanya laporan pandangan mata belaka dan kejadian-kejadian ‘suka duka berpetualang’.
Membaca lembar demi lembar buku ini, sebetulnya tak semua
kawasan dikunjungi oleh penulis. Banyak yang dilewatkan begitu saja. Namun,
untuk persoalan cakupan pembahasan, penulis sebetulnya sudah mengakui akan
keterbatasan yang ia miliki. Menurutnya, waktunya terlalu sebentar untuk dapat
menjelajahi Indonesia yang, seperti ditulisnya, luasnya sebanding dengan luas
Eropa dari ujung Barat sampai Asia Tengah. Untuk hal ini, memang ada anekdot
bahwa siapapun yang ingin menjelajahi Indonesia, yang dimulai dari usia 25 tahun,
maka di pulau terakhir ia sudah meninggal di sekitar usia 80 tahun.
Akan tetapi, sebetulnya keterbatasan waktu yang penulis
miliki bisa disiasati dengan menciptakan kategori. Tanpa itu, pembaca akan
bertanya kenapa daerah tertentu dibahas secara detail dan yang lain tidak;
termasuk tujuan pendetailan pada suatu masyarakat tertentu. Tanpa kategori,
pembaca tak dapat meraba arah dari buku ini selain menyaksikan kisah
sensasional backpacker bermotor.
Penulis, dengan sepeda motornya, terus bergerak dari Lampung,
Bengkulu, dan Enggano tanpa menuliskan siapa dan bagaimana karakteristik
penduduk di kawasan-kawasan tersebut. Bahkan, alih-alih berpihak pada
perspektif penduduk setempat, penulis justru memihak pada cara pandang asing
kala mengatakan Enggano ‘ditemukan Portugis’. Diksi ‘ditemukan’ tentu bukan
perspektif penduduk.
Akan tetapi, berbeda dengan kawasan-kawasan sebelumnya,
penulis bercerita banyak hal mengenai masyarakat Mentawai, Sumatera Barat. Tak
hanya manusianya, tetapi juga secara kultural. Entah apa pertimbangan yang
membuat penulis merasa Mentawai lebih menarik ketimbang yang lain.
Selain ketiadaan kategori, buku ini juga tidak selamanya
berpihak pada perspektif masyarakat. Saat memasuki Bukittinggi, misalnya, pola
pengisahannya berubah. Jika di Mentawai penulis bercerita mengenai masyarakat,
kini ia bercerita ihwal elit Indonesia. Penulis terkagum-kagum dengan Hatta,
Tan Malaka, Sjarir, Natsir, dan seterusnya, dengan segala artefak yang ada,
termasuk kantor Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Meski sosok-sosok itu memang pantas dikagumi, tetapi
penulis sama sekali tak menceritakan ihwal penduduk dan kultur Minang. Karena
amat terkagum-kagum dengan Hatta dan kawan-kawannya itu, ia silap dari
konstelasi politik-kultural antara Minangkabau dengan Riau dan Jambi kala
berada di Provinsi Sumatera Tengah, yang bertalian dengan praktik pecah belah
oleh pemerintah pusat.
Bahkan, perang antara Sumatera (juga Sulawesi) dengan
Jakarta tak diulas sama sekali. Padahal, Bukittinggi adalah motor dari perlawanan
itu, yang sebetulnya sedari dulu sudah sering melawan pemerintah pusat. Penulis
sama sekali tak menceritakan dampak dari perang itu, yang berakhir dengan
kekalahan Sumatera, seperti adanya penggantian nama secara besar-besaran oleh
penduduk Minang menjadi nama-nama Jawa atau nama lainnya.
Gara-gara terbelalak dengan Tan Malaka, barangkali, tak
sedikitpun diulas tentang goyangnya identitas Minang akibat pemerintahan
militer di masa lampau. Terlalu asyik pada tokoh-tokoh yang pernah bermain di
Jakarta membuat penulis tak mengelaborasi kenapa kawasan yang melawan ini
kemudian justru menjadi lumbung Golkar di masa Orde Baru. Atau bagaimana salah
satu kerbau di tambo Minang itu berubah-ubah identitasnya.
Ketiadaan kategori membuat pembaca juga tak mengerti mengapa
ia melewatkan Sumatera Utara/Timur. Bisa jadi, penulis abai atau tak tahu bahwa
kawasan itu adalah salah satu tempat terjadinya revolusi
sosial yang paling berdarah, yang menghantam negara-negara lama. Jika
orang kulit coklat tertarik pada revolusi Perancis, maka mengherankan jika ada
yang tak mengetahui revolusi sosial di Sumatera Timur – meski kedua revolusi
itu berbeda pada pelaku.
Di sana jugalah terjadi penyerbuan yang dilakukan
laskar-laskar republik beserta ekstremis komunis yang dibantu buruh-buruh
perkebunan asal luar Sumatera yang menyerang penduduk asli dan pendatang
seperti China. Bahkan, di Belanda, sebagaimana diceritakan oleh Tengku Mansoer
Adil Mansoer di LenteraTimur.com (2/5), ada foto yang terkenal di
seluruh dunia yang membandingkan serangan laskar-laskar dan ekstremis itu
dengan kekejaman Nazi di Berger-Belsen. Bagaimana kemudian mereka bisa
‘menyesuaikan’ diri dengan Indonesia, terlewatkan oleh penulis.
Yang juga mengherankan adalah ketika penulis menyebutkan
negerinya Raja Ali Haji sebagai Kesultanan Melayu. Mungkin penulis lupa
bertanya siapa penduduk dan peradaban di kawasan yang ia kunjungi. Sebab, tak
ada yang namanya Kesultanan Melayu tanpa nama negeri. Yang dimaksud penulis di
kawasan itu tentu saja Kesultanan Melayu Riau Lingga.
Seperti sebelumnya, penulis juga mengabaikan kehidupan
masyarakat di Kalimantan. Ada yang tak terbaca dari apa yang sekedar terlihat.
Tak dielaborasi siapa dan bagaimana penduduk Pontianak (Kalimantan Barat),
Banjar (Kalimantan Selatan), Balikpapan dan Samarinda (Kalimantan Timur), atau
dinamika masyarakat Dayak secara politis dan kultural, baik di internal maupun
dalam perjumpaannya dengan entitas keindonesiaan.
Pun, ihwal bahasa Melayu yang disinyalir berasal dari
kawasan Sambas di Kalimantan Barat luput dari perhatian. Juga bagaimana
penduduk Pontianak, misalnya, memandang keindonesiaan setelah negeri lama
mereka dibantai secara amat sadis oleh Jepang, yang dikenal dengan istilah
Tragedi Mandor, dimana Jepang sendiri merupakan kawan baik dari Republik
Indonesia.
Jepang yang fasis, yang disebut oleh sekutunya sebagai
saudara tua, adalah yang membentuk Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai).
Tak terbahaskan pula mengenai bagaimana sebetulnya narasi perbatasan di Kalimantan Barat, juga Kalimantan
Timur, dari perspektif masyarakat. Bagaimana sebetulnya wilayah-wilayah yang
bersifat regional bahkan global selama ratusan tahun itu kemudian mengalami
keambrukan. Bahkan, tak juga diceritakan mengenai adanya eksodus warga negara
Indonesia ke Malaysia di Kalimantan Barat, khususnya Entikong di Kalimantan
Barat atau Nunukan di Kalimantan Timur.
Demikian juga di Sulawesi. Penulis menyusuri kawasan demi
kawasan dengan mengabaikan kisah dan karakteristik masyarakat masing-masing.
Memang, Bugis (Sulawesi Selatan) banyak diceritakan, utamanya soal kapal
legendaris yang masih hidup dan terpelihara itu, Pinisi. Akan tetapi,
sebagaimana di Sumatera dan Kalimantan, tak ada bahasan (perjumpaan) karakter
kultural Bugis dengan Makassar dalam kekinian, termasuk Toraja.
Penulis terus melaju ke Takabonerate (Sulawesi Selatan),
Buton (Sulawesi Tenggara), Banggai (Sulawesi Tengah), Gorontalo, dan Miangas
(Sulawesi Utara) dengan konsekuensi ketidakdekatan, ketidarekatan, dan
ketidakutuhan penggambaran mengenai Indonesia. Penulis, selain nampak memandang
dari luar hingga sulit mengelakkan diri dari tafsir ‘biasa-biasanya’ suatu
entitas, juga tak menjangkau bagaimana entitas-entitas yang disebut lokal atau
bagian Indonesia itu melakukan transformasi sosial dan memodernkan dirinya
dengan caranya sendiri.
Meski demikian, ada yang menarik ketika penulis tersenyum
menanggapi pertanyaan seorang kakek di Banggai, Sulawesi Tengah. Kakek itu
bertanya, apakah betul Presiden Amerika Serikat Barack Obama datang ke
Indonesia.
Seketika, senyum
penulis menghadirkan kenyataan bahwa Indonesia terbangun secara berlapis-lapis,
bukan merata. Ada lapis atas, yang dihuni penulis di Jawa, dan lapis bawah,
yang dihuni sang kakek di Banggai.
Senyum penulis menyiratkan dirinya lebih tahu ketimbang
sang kakek. Dan kosmologi sang kakek yang ‘berada di bawah’ membutuhkan jawaban
dari yang ‘paling dekat dengan Obama’.
Akan tetapi, berbeda dengan Kalimantan atau Sumatera,
penulis selintas menangkap kompleksitas perbatasan di Miangas, Sulawesi Utara. Ia membidik
kesulitan yang didera Miangas dari perspektif isu terorisme yang dianggap masuk
dari Filipina – meski sebelum itu kompleksitas Miangas sebagai regional bahkan
global sudah menyurut ketika tiba-tiba terposisikan sebagai kawasan pinggiran
karena berdirinya Indonesia sebagai negara lanjutan dari Belanda di kepulauan
itu.
“Isu ini membuat lumpuh perdagangan antara warga Miangas
dan Filipina. Sejak 2004 hingga sekarang perdagangan mati. Pedagang Filipina
tidak lagi membeli hasil tangkapan nelayan Miangas; orang Miangas kesulitan
mendapatkan barang kelontongan. Sebenarnya, kedua pihak mengalami kerugian,”
tulis Yunus (halaman 272).
Usai dari Sulawesi, tanpa menyinggahi Poso di Sulawesi
Tengah yang memiliki banyak sekali patung-patung megalitikum yang
mencengangkan, penulis bergerak ke Maluku Utara. Dan, lagi-lagi, ia seakan mengabaikan
kawasan beridentitas penting. Ia hanya mampir di negeri para raja itu, yang
masyarakatnya memiliki karakteristik kuat dengan dinamika antara masyarakat
kerajaan/adat dengan pemerintahan ‘baru’. Ia, seperti pada Mentawai, lebih
memilih menjelajah ke Banda (Maluku), Papua, Papua Barat, serta Flores (Nusa
Tenggara Timur), dan menceritakan masing-masingnya lebih banyak ketimbang yang
lain. Fokus penulis pada kawasan-kawasan tersebut menghasilkan wacana yang
relatif lebih utuh dan informatif.
Tragedi
Indonesia adalah negeri yang penuh tragedi. Sebagaimana biasa penulis kala menuliskan tentang Indonesia selalu menyelipkan kejadian 1965, betapapun kejadian itu hanya terjadi di separuh Pulau Jawa, juga Bali, begitu pula penulis dalam buku ini.
Tragedi kemanusiaan pada 1965 itu muncul juga di buku
ini, tidak di Pulau Jawa, tetapi di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Pada 14
November 1965, penulis menceritakan bahwa ada serangan dari militer Indonesia
terkait isu komunisme terhadap penduduk asli.
“Tentara mengumpulkan 10 anak muda sebagai algojo.
Tentara memberikan petunjuk memotong kepala dengan parang, cara mengikat, dan
mengikuti kode-kode penyerbuan. Mereka akan menjadi korban yang sama jika para
calon korban berhasil melepaskan diri. Tentara akan mengambil lima orang korban
tambahan sebagai penggantinya,” tulis Yunus (halaman 337).
Akan tetapi, kekejian itu tak diulas utuh. Penulis tak
menceritakan tentara itu berasal darimana. Apakah itu tentara dari Nusa
Tenggara Timur sendiri atau kiriman dari Jawa, sebagaimana pernah terjadi pada
Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi pada periode 1940-an akhir atau 1950-an.
Sebagaimana ketiadaan kategori yang membingungkan,
penyajian kisah terkait kejadian 1965 juga mengundang pertanyaan. Apa mekanisme
yang digunakan penulis dalam menyeleksi peristiwa? Mengapa laskar-laskar yang
melakukan penyerbuan di banyak tempat, yang sebetulnya mengingatkan kita pada
upaya ekspansi Jerman pada Eropa dahulu, tak tertulis? Mengapa
kejadian-kejadian lain di periode 1940-an akhir dan 1950-an tak
‘diindonesiakan’ sebagaimana kejadian 1965? Mengapa proyek transmigrasi yang
dianggap menjadi pemicu konflik horizontal di banyak kawasan tak terulas?
Saking menautkan diri dengan apa yang diyakini sebagai
sentral Indonesia kini, sebagaimana terbaca pada bagian Sumatera Barat, Papua,
atau Banda, yang dalam dugaan saya menjadi paradigma penulis dalam menentukan
kawasan yang dikunjungi, menjelang akhir bukunya penulis bahkan menyebutkan
bahwa setelah Sukarno, presiden kedua Indonesia adalah Sjafrudin Prawiranegara,
dan yang ketiga adalah Suharto (halaman 340). Periode kabinet darurat Sjafrudin
adalah 22 Desember 1948 takat 13 Juli 1949.
Pendapat penulis tentu saja mengherankan. Di masa itu,
Negara Republik Indonesia adalah salah satu negara yang ada di Indonesia. Jika
benar Sjafrudin presiden kedua Indonesia, lantas bagaimana penulis menempatkan
Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948),
Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur
(1948), dan sebelas daerah otonom lain dalam keindonesiaan?
Di bagian lain buku ini, penulis menyebutkan ihwal Eduard
Douwes Dekker, seorang Belanda yang lebih dikenal dengan nama Multatuli
(halaman 245). Eduard Douwes Dekker menuliskan novel yang berisi kritik pedas
terhadap pemerintah Belanda atas negeri jajahan. Sejurus, saya memandang sosok
Eduard Douwes Dekker mewujud pada penulis. Penulis datang dari Pulau Jawa,
pulau yang diutamakan dalam proyek keindonesiaan sepanjang masa, yang menjadi
subjek dari objek abstrak bernama ‘luar Jawa’, dan kemudian menuliskan kritik
keras melalui bukunya ini kepada, sebagaimana pertanyaan kepada siapa buku ini
ditujukan, Jakarta.
Meski demikian, buku ini cukup menarik untuk dibaca.
Penulis telah mencoba menyuarakan mereka yang tak tersuarakan. Sebab, pada
kenyataannya, memang tak banyak orang yang dapat membayangkan betapa luasnya
Indonesia, sekaligus kehancuran yang sudah atau sedang dialaminya. Tak banyak
orang mengetahui bahwa di banyak tempat keadaan tetap tak berubah sejak zaman
pemerintahan Sukarno hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini.
Pada saat yang sama, Ahmad Yunus telah mengantarkan kita
pada pertanyaan tajam ihwal mengapa negara ini ada. Juga pertanyaan apakah
alasan adanya negara ini hanya ada di belakang, di masa lalu, dan tidak di masa
depan.
Selasa, 14 Juni 2011
Tarmiihim dan Benggala Sains
1. Catatan Kebumen atas Pentas Teater Ego
Proses maju, barangkali benar tak diukur oleh kwantitas waktu. Intensitas, ketidakmenyerahan, lekat konsistensi; menjadi penggalan-penggalan yang membangun tanda. Dan membuat ukuran-ukuran yang baru karenanya. Begitulah simak perjalanan setahun terakhir Teater Ego Kebumen. Hingga pada pementasan produksi ke 2 bertajuk Tarmiihim malam itu. Rabu (8/6) memang menjadi tarikh yang memadatkan dugaan bahwa kelompok teater ini bukan sebuah konten seni peran yang suwung. Selain bahwa perjalanannya meninggalkan jejak sebagai sebuah proses maju.
Adalah Putut AS sang sutradara yang mengeksplorasi pementasan naskah Salim EmDe bersama belasan pelakon di Gedung Haji itu. Malam yang membedakannya dengan “peristiwa budaya” dalam tema yang serupa, pada tempat yang sama; di tahun sebelumnya.
Melempar (yang usang) dalam Otopsi
Bagaimana Pengarusutamaan Gender menjadi eksploran yang wajar tapi menohok, menjadi tema besar yang memungkinkan menyibak kisi-kisi dalam relasi personal dan sosial. Menonton Tarmiihim seperti nyaris membongkar praksis patrialkal yang barangkali hingga hari ini masih menjadi realisme yang tak terjawab. Kasunyatan yang terkungkung dalam cacat budaya yang tak sembuh, terbungkus dalam balutan luka di pondok-pondok. Tarmiihim menguak balutan kumuh itu dan Teater Ego memaparkan dalam pentas keduanya.
Luka yang tak sembuh itu karenanya muncul jadi cacat budaya, relasi dominan Kyai atas Nyai, laki-laki atas perempuan. Dan terjaga dalam referensi teks-teks yang dipiara untuk tak utuh dibedah dalam tafsir. Karena tafsir adalah sesuatu yang harus dimonopoli. Kelas sosial tertentu dianggap menjadi yang paling berhak atas pekerjaan interpretasian itu, bukan kelas yang mewakili para kebanyakan, yang “hanya” bekerja di sudut yang tersekat kubikel pelayanan. Terpuruk beku, berdiam di sana. Lalu Tarmiihim mencairkan dan membunyikannya.
Proses maju, barangkali benar tak diukur oleh kwantitas waktu. Intensitas, ketidakmenyerahan, lekat konsistensi; menjadi penggalan-penggalan yang membangun tanda. Dan membuat ukuran-ukuran yang baru karenanya. Begitulah simak perjalanan setahun terakhir Teater Ego Kebumen. Hingga pada pementasan produksi ke 2 bertajuk Tarmiihim malam itu. Rabu (8/6) memang menjadi tarikh yang memadatkan dugaan bahwa kelompok teater ini bukan sebuah konten seni peran yang suwung. Selain bahwa perjalanannya meninggalkan jejak sebagai sebuah proses maju.
Adalah Putut AS sang sutradara yang mengeksplorasi pementasan naskah Salim EmDe bersama belasan pelakon di Gedung Haji itu. Malam yang membedakannya dengan “peristiwa budaya” dalam tema yang serupa, pada tempat yang sama; di tahun sebelumnya.
Melempar (yang usang) dalam Otopsi
Luka yang tak sembuh itu karenanya muncul jadi cacat budaya, relasi dominan Kyai atas Nyai, laki-laki atas perempuan. Dan terjaga dalam referensi teks-teks yang dipiara untuk tak utuh dibedah dalam tafsir. Karena tafsir adalah sesuatu yang harus dimonopoli. Kelas sosial tertentu dianggap menjadi yang paling berhak atas pekerjaan interpretasian itu, bukan kelas yang mewakili para kebanyakan, yang “hanya” bekerja di sudut yang tersekat kubikel pelayanan. Terpuruk beku, berdiam di sana. Lalu Tarmiihim mencairkan dan membunyikannya.
Minggu, 29 Mei 2011
Tan Malaka: Sebuah Opera tentang Ketidakhadiran
Senin, 23 May 2011 02:33
Wajah kebingungan terpancar pada sebagian besar penonton yang melenggang keluar dari ruang pertunjukan Teater Salihara Oktober tahun lalu. Ragam pertanyaan sepertinya membuat beberapa hadirin kebingungan. Pertanyaan yang muncul dari keraguan dan ketidaktahuan.
“Opera apa ini? Sungguh, tak mengerti. Tidak ada ceritanya.”
“Judulnya Opera Tan Malaka, tapi dimana Tan Malaka-nya?”
“Goenawan Mohammad (GM) yang terlalu pintar atau aku yang terlalu bodoh?”
“Oh, jadi itu yang Tan Malaka itu? Dia komunis ya? Atheis dong!”
Ragam pertanyaan yang menarik—semenarik senyum GM dalam meningkahi jabatan tangan dan ucapan selamat dari beberapa rekan dan hadirin yang sepertinya juga kebingungan menyaksikan malam penutupan Festival Salihara. Apakah GM menyenangi kebingungan para penontonnya itu? Menarik. Semenarik pesta penuh alkohol sesudahnya—tanda pesta sudah usai. Mungkin seperti itu. Mungkin pula tidak—karena aku tak hadir sesudahnya, sama seperti Tan Malaka yang tak pula hadir di opera-esai itu. Aku tak hadir maka aku ada.
Sebelumnya, di penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah pertemuan pertamaku dengan naskah Tan Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995). Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam melawan kolonialisasi tersebut. Menarik.
Aku pun hadir kemudian sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka yang tak membaca naskah lakon itu. Ada apa ini?
Lalu tak lama kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.
Opera-esai tiga babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony Prabowo yang di-conduct oleh Josefino Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih.
Aria dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan mengenai opera tersebut. Nah lho?
Semakin senang GM sepertinya menyaksikan kebingungan ini.
***
Menarik pula akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11) dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera. Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.
Jika Indra J. Piliang bertanya musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik, Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukittinggi dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert. Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya.
Mengenai sastra, pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.
Mengenai lakon, sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan sepakbola) bernama Pantai Selatan. Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain.
Gaya penulisan lakon Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu. Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi bangsanya.
Berpuluh tahun kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya. Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka. Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat satu film fiksi pendek berjudul “Tan Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.
Jika Althusser menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang, hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab, pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan berbagai cara.
Bagiku, Tan Malaka adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir dalam diskursus.
Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas itu sendiri. Ambigu.
Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.
Jadi masih perlukah kebingungan itu dilanjutkan?
DEVY KURNIA ALAMSYAH
(Sutradara “Selopanggung” dan NominatorFestival Film Dokumenter (FFD) 2010)
Sumber http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4984%3Atan-malaka-sebuah-opera-tentang-ketidakhadiran&catid=11%3Aopini&Itemid=83
Wajah kebingungan terpancar pada sebagian besar penonton yang melenggang keluar dari ruang pertunjukan Teater Salihara Oktober tahun lalu. Ragam pertanyaan sepertinya membuat beberapa hadirin kebingungan. Pertanyaan yang muncul dari keraguan dan ketidaktahuan.
“Opera apa ini? Sungguh, tak mengerti. Tidak ada ceritanya.”
“Judulnya Opera Tan Malaka, tapi dimana Tan Malaka-nya?”
“Goenawan Mohammad (GM) yang terlalu pintar atau aku yang terlalu bodoh?”
“Oh, jadi itu yang Tan Malaka itu? Dia komunis ya? Atheis dong!”
Ragam pertanyaan yang menarik—semenarik senyum GM dalam meningkahi jabatan tangan dan ucapan selamat dari beberapa rekan dan hadirin yang sepertinya juga kebingungan menyaksikan malam penutupan Festival Salihara. Apakah GM menyenangi kebingungan para penontonnya itu? Menarik. Semenarik pesta penuh alkohol sesudahnya—tanda pesta sudah usai. Mungkin seperti itu. Mungkin pula tidak—karena aku tak hadir sesudahnya, sama seperti Tan Malaka yang tak pula hadir di opera-esai itu. Aku tak hadir maka aku ada.
Sebelumnya, di penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah pertemuan pertamaku dengan naskah Tan Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995). Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam melawan kolonialisasi tersebut. Menarik.
Aku pun hadir kemudian sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka yang tak membaca naskah lakon itu. Ada apa ini?
Lalu tak lama kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.
Opera-esai tiga babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony Prabowo yang di-conduct oleh Josefino Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih.
Aria dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan mengenai opera tersebut. Nah lho?
Semakin senang GM sepertinya menyaksikan kebingungan ini.
***
Menarik pula akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11) dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera. Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.
Jika Indra J. Piliang bertanya musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik, Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukittinggi dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert. Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya.
Mengenai sastra, pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.
Mengenai lakon, sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan sepakbola) bernama Pantai Selatan. Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain.
Gaya penulisan lakon Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu. Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi bangsanya.
Berpuluh tahun kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya. Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka. Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat satu film fiksi pendek berjudul “Tan Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.
Jika Althusser menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang, hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab, pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan berbagai cara.
Bagiku, Tan Malaka adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir dalam diskursus.
Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas itu sendiri. Ambigu.
Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.
Jadi masih perlukah kebingungan itu dilanjutkan?
DEVY KURNIA ALAMSYAH
(Sutradara “Selopanggung” dan NominatorFestival Film Dokumenter (FFD) 2010)
Sumber http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4984%3Atan-malaka-sebuah-opera-tentang-ketidakhadiran&catid=11%3Aopini&Itemid=83