This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 03 Februari 2009

Antara Dongeng dan Monolog, Ada Apa?

Di gedung PGRI Kebumen pada Senin, 2 Februari 2009 digelar monolog "Kaprah" oleh Sanggar Sastra Wedang Kendi, Purwokerto. Naskah tulisan Agus Salim ini dimainkan selama 1 jam 15 menit oleh Ryan Rahman, dibantu Nursalim pada set dan tata lampu di malam itu. Hanya ada selusin penonton di dalam gedung, setelah 2 orang meninggalkan ruang pada menit ke lima. Tapi ke 12 penonton laìnnya tetap bertahan hingga usai pementasan.
Naskah "Kaprah" lebih mengeksplorasi impian mayoritas warga masyarakat, masyarakat dengan segala bentuk modernitasnya. Modernitas kekinian yang menutup pintunya bagi kelas sosial terbawah. Bagi kebanyakan orang. Di sisi lain, modernitas demikian telah menjelmakan obsesi meluas. Pada wìlayah ìnilah debut eksplorasi "Kaprah" itu.

Keaktoran Ryan Rahman

Keberanian menjadi hal menonjol dalam mengusung naskah yang sebenarnya sarat dengan paparan realita sosial obyektif. Keberaniannya yang lain yalah manuver yang dibuat meloncat pada sebagian dari naskah, akan tetapi menghasilkan monolog yang monoton. Apakah itu disengaja atau lantaran belum cukupnya akumulasi 'subject-capital' sang aktor; maka nampak sama-sama kaburnya.
Di depan selusin apresian, ia lebih nampak sebagaì penutur tunggal atau pendongeng ketìmbang aktor panggung monolog yang dibawakannya.
Tetapi melakukan eksplorasi fisik dan psikis selama lebih dari 1 jam secara maraton, itu bukan hal biasa; meski bukan untuk tujuan memecah rekor.
Memang tak ada yang pecah di penonton, baik tawa maupun celoteh. Fakta ini melengkapi dataran rahasia yang membeku di sana. Ada apa? Tak ia hiraukan itu.
Jadilah, di tengah sett yang terkesan sederhana, keaktoran Ryan hanya mewakili bangunan watak personal.

Ada Apa, Apresian..

Bagian yang tak kalah menarik dari 'peristiwa' malam itu, bukan pada pentas monolog, tapi justru ditemukan di sessi dialog. Forum yang semula dimaksudkan untuk evaluasi pementasan, telah berkembang begitu egaliter. Masih dengan selusin penonton yang 'ngoyod' di lantai gedung, pendiri Sanggar Sastra Wedang Kendi itu berharap input atas pentas monolognya. Ketika seseorang memulai dengan kesan minimnya eksplor dialog, sehingga lebih terkesan 'pangudarasa' ketimbang monolog. Maka ada yang hilang, jika dirunut dari awal-awal pentas monolognya. Adegan (out-stage) seseorang yang tengah mandi sambil solilokui keras, cukup menjadi daya tarik awal yang baik hingga beberapa menit berikutnya.
Di mata Ubaidilah, salah satu penonton, melihat hilangnya kekuatan karakter tokoh dalam 'Kaprah'. Kesan lurus atas mind-set Ryan, mematìkan penokohannya.
Ada yang melihat bagaimana keringnya Ryan bikin adonan pentas monolognya. Aris Raharjo menyayangkan tak munculnya obyek eksploran, di mana dalam kemiskinan tersimpan daya kreatif. Ryan, oleh karena kurang melakukan observasi, cuma memvisualisasikan fatalisme belaka. Bahwa tak semua, dalam monolog, dibahasakan secara verbal.
Sorotan terhadap manajemen pementasan muncul dari dua penonton lain; AgusBudiono dan ArieSubowo. Agus tak melihat adanya arahan dalam pentas Ryan dan tak habis pikir bagaimana bisa -seperti diakui Ryan- kalau 50 persen lebih dihasilkan dari keaktorannya? Ari menyoroti pula nihilnya manajemen entertainment, sehingga tak jelas genre atau konsepnya: serius ataukah lawakan. Esensi 'Kaprah' menurutnya, bukan pesan kemiskinan. Tapi lebih sebagai dreamy kaum intelek yang tak punya akses. Pentas ini juga tidak memotret kapasitas pemirsa dalam menerima hal-hal melelahkan dan menjenuhkan.
"Pentas monolog Kaprah, datar-datar saja", keluhnya.
Kekecewaan pun muncul dari seorang Putut AS. Pentolan teater 'Ego' ini kecewa sejak persiapannya. Namun begitu, ia mau juga memberi masukan sampai hal-hal teknìs. Seperti vokal yang tak diolah sampai artikulasi yang tak jelas. Menurutnya, untuk menjadi aktor monolog panggung, setidaknya mesti lebih kualified ketimbang pendongeng. Pendongeng saja dituntut mampu memainkan 1 sampai 5 atau 9 karakter. Atau bahkan karakter binatang sekali pun.
Dialog pasca pementasan 'Kaprah' nyaris jadi debat kusir, kalau saja tetap disikapi dengan dalih-dalih reaksioner. Bahwa pentas 'Kaprah' tak lebih dari dataran panjang lurus tak bergunduk. Ada jenuh memarit yang bikin penonton menghindar memasukinya. Dan itu sama sekali beda dengan argumen 'kolega' Ryan; setter Nursalim yang coba mengintrodusir bagaimana pentas 'Waiting for Godot' nya Samuel Beckett. Alih-alih menguatkan argumen sang aktor, tapi ia lupa duduknya perkara. Maka sebenarnya justru nampak bahwa itu cuma bentuk lain dari pembelaan reaksioner saja. Ia lupa bahwa 'paparan jenuh' yang melahirkan Nobel bagi Samuel itu, sebuah kehormatan dunia atas 'Waiting for Godot' sebagai sebuah karya sastra. Dan bukan atas pementasannya.
Jika melihat begitu samarnya ruang abu-abu antara dongeng dan monolog 'Kaprah' malam itu, maka pantas jika ada esensi komunikasi yang terpasung. Hasilnya, seperti lansir ambigunya Pekik Sasinilo pada sessi ahir dialog. Meski seringkali sang 'pendongeng' Kaprah melucu, tak pernah pecah tawa di situ. Ini bisa jadi preseden menarik. Bahwa dongeng 'Kaprah' telah dìbawa Ryan pada penonton yang 'jahat tapi sopan'.
"Jahat, sebab yang jenaka tak menemukan tempatnya. Tapi untung, karena penontonnya sopan-sopan semua" katanya mengakhiri.